Yasmin 8

1.9K 313 51
                                    

 "Bukan keberatan, lo tahu kan gue juga sibuk di kafe." akhirnya Yasmin terpaksa menemui sahabatnya setelah kembali terhubung melalui chat. "Coba kesampingkan egomu dengan cara itu kamu bisa membuktikan kalau kamu bisa pada keluarga suamimu."

"Gue nggak minta lo sering datang ke rumah, biar Nayana yang gue antar ke sini. Setahun lagi, Yasmin."

Yasmin tidak percaya jika Dyaz punya ide tersebut.

Dyaz memohon dengan penuh harapan. "Gue cuma punya lo."

"Gue kerja, Dyaz." Yasmin pengertian sahabatnya. Alasan yang sebenarnya bukan hanya pekerjaan, tapi dia ingin berhenti ikut campur dalam urusan rumah tangga Dyaz juga Argan. 

"Yas, plis. Selesai kuliah gue pikir rencana lain. Yang penting dapat ijazah dulu."

Yasmin masih menolak.

"Yakin lo nggak mau bantuin gue?" mata Dyaz berkaca-kaca.

"Maaf, gue bakal datang tanpa lo suruh. Tapi gue nggak bisa ngemban tanggung jawab itu."

Dengan putus asa Dyaz menunduk, ia tak malu-malu tertawa atau menangis bahkan meraung seperti orang gila di depan Yasmin. Kendari terus dihalau dengan jari air matanya tetap tak berhenti mengalir, ia bangun.

 "Gue terus yang repotin ya, maaf." lalu Dyaz keluar dari kafe dan Yasmin tidak menahan langkah sahabatnya.

******

Di rumah Argan menenangkan istrinya, ia tidak menyetujui ide gila Dyaz yang ingin menitipkan Nayana pada wanita yang bekerja di kantin kampusnya, karena menurut ibu satu anak tersebut hanya wanita itu yang bisa dipercaya sekarang setelah Yasmin, kebetulan wanita itu tidak memiliki anak.

"Aku yang akan menjaganya, aku bisa bekerja dari rumah."

"Setelah kata serapah ibu Mas pikir gampang?" Dyaz sesenggukan. "Aku sudah berjanji akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi istri juga ibu yang baik."

Cukup banyak rencana yang belum dibicarakan Dyaz dengan siapapun, selesai kuliah dia akan mencari pekerjaan yang layak dan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat ibu suaminya menyesal dan dia akan melemparkan kembali hinaan tersebut ke wajah ibu mertuanya.

"Lanjutkan kuliahmu," kata Argan dengan tenang. Meminta sang istri berhenti pun tidak akan dituruti, padahal Argan adalah laki-laki sederhana yang hanya menginginkan istrinya di rumah menjaga anak dan mengurus dirinya. Perihal lain bisa dipenuhi namun sampai sekarang dia selalu gagal membawa pembantu ke rumah.

"Bekerja dari rumah pun aku bisa, aku yang akan berbicara dengan ibu."

Dyaz menggeleng. "Titip aja ke bu Qori setahun, cukup." isaknya bersamaan perasaan kesal.

"Kamu masih menganggapku suami?" tanya Argan, saat tatapan sang istri tertuju ke arahnya laki-laki itu melanjutkan, "Jika masih dengarkan aku, ini menyangkut keluarga kita aku berhak bersuara."

"Tapi apa kata ibu Mas nanti?" serang Dyaz lagi. "Aku menjadikan anaknya budak?" 

"Jangan dengarkan beliau, selama aku masih ada di sampingmu aku akan memudahkan urusan kita."

Dyaz tidak mengerti bagaimana pikiran suaminya, menurutnya apa yang dipikirkannya sudah benar. 

"Nyatanya tidak mudah Mas." Dyaz membantah. "Mas tidak berhasil membujuk ibu, beliau keukeh ingin kita bercerai."

"Dan aku menceraikanmu? Tidak kan?" Argan tak tersulut emosi, pembawaan yang begitu tenang tak bisa juga menenangkan sang istri. 

"Aku akan memikirkan cara membuat ibu luluh, tolong percaya padaku."

"Tidak, aku punya cara sendiri." 

Jika Dyaz keukeh dengan rencananya Argan pun sama, ia tidak akan membiarkan istrinya membawa Nayana tinggal di rumah orang lain.

Pembicaraan dua orang itu tidak menemui kesepakatan, keduanya bersikeras dengan rencana masing-masing. 

Pagi pertama setelah pembicaraan itu Argan bangun lebih dulu, ia menyiapkan sarapan juga susu sang anak selama menunggu sang istri dan putrinya bangun. Dia bukan lelaki manja tapi urusan dapur benar-benar awam baginya. Hanya telur ceplok yang sedikit hangus itu yang dihidangkan pria itu bersama dua lembar roti.

Ketika Dyaz bangun dan melihat sarapan buatan Argan ia kesal. "Aku menyuruh Mas menyiapkan ini?"

"Tidak mungkin aku membiarkanmu berangkat dalam keadaan perut kosong."

Karena selama dua bulan lebih Yasmin yang melakukan pekerjaan tersebut.

"Aku bisa makan di kantin." Dyaz kembali masuk ke kamar, ia mengambil tas dan ponselnya.

"Aku pulang terlambat nanti karena mau membeli perlengkapan Nayana sebelum ku----"

"Kamu tidak perlu melakukannya, semua perlengkapan Dyaz akan diurus sekretarisku."

Apa? Dyaz melayangkan tatapan menilai pada sang suami. "Mas akan membawa wanita lain ke rumah ini?"

"Bukan mengasuh Nayana, tapi membelikan perlengkapannya saja."

"Lama-lama aku bisa gila!" dan Dyaz pergi tanpa mencium tangan Argan.

Sudahlah Yasmin tidak mau membantunya ditambah sang suami yang bersikap seenaknya.

Argan menarik napas dalam dan mengembuskan dengan berat, apa yang sudah berlaku tidak pernah sekalipun laki-laki itu menyalahkan Dyaz. Ia mencintai wanita itu tentunya bisa memaafkan sebesar apapun kesalahannya.

******

Waktu terus berjalan dan hampir dua minggu Argan mengasuh bayinya, ia membawa semua pekerjaan ke rumah berharap keadaan ini tidak diketahui sang ibu sementara dia memikirkan cara lain.

Pria itu memaklumi perangai sang istri; ia tidak marah ketika sang istri bangun terlambat, tak sekalipun menyinggung kebiasaan itu karena Argan tahu setiap pulang kuliah ada saja tugas dari kampus yang dikerjakan istrinya. Ayah satu anak itu juga tidak keberatan begadang semalaman demi bayi mereka.

Hingga suatu hari di usia Nayana masuk tiga bulan bayi itu kembali masuk rumah sakit karena diare, padahal tidak ada kesalahan yang dilakukan Argan. Pria itu belajar banyak cara mengasuh bayi dan yakin tidak melewatkan satu hal apapun yang penting dalam tumbuh kembang sang putri.

Namun siang itu dia mendapat kabar dari dokter jika Nayana menderita infeksi usus dan harus dirawat intensif di bawah pantauan dokter. 

Argan sudah menghubungi Dyaz tapi belum tersambung bahkan pesannya juga belum dibaca oleh sang istri. Ia tidak memberitahu keadaan ini pada Yasmin, seperti kata Dyaz kalau gadis itu tidak ingin berurusan lagi dengan mereka.

Ia tidak tersinggung dengan kejujuran Yasmin, sebaliknya Argan berterima kasih pada gadis itu karena sudah banyak membantu mereka.

Tapi ketika dia sedang menunggu putrinya Yasmin datang. "Dia meminum susu basi lagi?"

Argan menoleh.

"Dyaz yang memberitahuku." 

Ouh, Argan mengatakan apa yang didengarkan dari dokter beberapa saat lalu. "Infeksi usus."

Yasmin memejamkan matanya sejenak, ia tidak percaya di usia yang masih belia Nayana sudah dua kali masuk rumah sakit. Akibat dari memiliki orang tua egois, wajar jika anak yang menjadi korban.

"Apa kalian berniat membunuhnya?" mungkin terdengar tidak wajar kekesalan Yasmin, sayangnya kekesalan Yasmin beralasan karena dia mengetahui keadaan yang berlaku dalam rumah tangga sahabatnya.

"Apa maksudmu?"

"Tidak semua bayi cocok dengan susu formula, ASI lebih baik. Andai kalian belum siap dengan kehadirannya kenapa tidak berpikir terlebih dulu?"

Pasangan suami istri itu memang patut dipersalahkan.

Setelah menuangkan kekesalannya Yasmin pergi dari hadapan laki-laki itu dan menemui perawat meminta izin untuk melihat Nayana.

Argan bisa merasakan kemarahan Yasmin namun tidak menganggap itu aneh tanpa sadar dia membandingkan kesigapan Yasmin dengan Dyaz dan ini bukan pertama kalinya dia membandingkan dua wanita itu.













Mantan Ipar (Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang