Dear Alan,
Hari ini, gue baikan sama Jendral dan Naka setelah kita berantem hebat sampai adu jotos kemarin. Setelah berantem itu, bang Juna ngomong berdua sama gue dan nyuruh gue untuk baikan sama mereka.Naka bilang gue egois, Gay juga begitu. Gue rasa, apa yang gue harapkan di hidup gue seharusnya setimpal dengan penderitaan gue setelah kehilangan lo sama ayah. Gue enggak egois, gue juga sadar betul kalau gue mengharapkan sesuatu yang mustahil untuk gue dapetin, yaitu lo.
Lo tahu gak? Kadang gue iri sama lo. Sama pemikiran lo, kerja keras lo, pandangan lo tentang dunia dan hidup, dan isi otak lo yang positif terus. Lo selalu melihat sesuatu dari sisi positif, padahal kalau dilihat lihat, itu bahkan enggak berdampak baik buat lo sendiri.
Langit malam belakangan ini cantik banget deh. Kadang gue suka berpikir kalau itu lo yang lagi ngelihatin gue dari atas sana. Norak banget emang, tapi sebegitu kangennya gue ngelihat lo, dengar ketawa receh lo, nasehat lo, suara lo, dan tatapan teduh yang selalu buat gue adeeemmm banget rasanya.
Gue kangen.
Merelakan itu susah banget, dan gue enggak pernah bisa bersikap dewasa untuk itu.
Lo pernah bilang ke gue, kalau setiap manusia itu punya wajah yang berbeda beda karena mereka punya jalan hidup yang berbeda beda.
Tapi... Jalan hidup lo cuma gini doang, bang?
Enggak ada bubuk romantis, atau drama apaan gitu? Cuma cari kerja, capek, bunuh diri? Gitu aja?
Gue enggak bisa menyalahkan lo dengan keputusan yang lo ambil, karena gue tahu kalau gue enggak tahu apa apa soal hidup lo.
Ada beberapa hal yang sekarang sulit untuk gue hadapi, gue takut menjalani hari hari kedepan, gue takut dengan kegagalan gue, gue enggak punya siapa siapa yang bisa ngasih gue nasehat sebaik lo. Gue tahu, gue masih punya orang orang yang gue sayangi disini, sahabat, saudara, tapi itu semua enggak akan pernah lengkap, karena gue udah kehilangan.
Chandra meletakkan pulpennya setelah selesai menulis kalimat demi kalimat di selembar kertas. Lelaki itu tersenyum tipis dan mulai melipat kertas itu menjadi sebuah pesawat kecil.
"Seharusnya ini bisa terbang tinggi, kan? Semoga video YouTube tentang tutorial cara melipat pesawat kertas yang baik dan benar yang gue tonton enggak sia sia. Gue udah latihan melipat ini sampe habis selusin origami."
Chandra beranjak dari meja belajarnya, lelaki itu lantas membuka jendela kamar. Unutuk beberapa saat, Chandra menutup matanya, membiarkan angin malam yang lembut menerpa wajahnya.
Lelaki itu melempar pesawat kertasnya, dia tersenyum senang ketika pesawat itu terbang begitu tinggi dan menjauh terbawa angin. Chandra harap, pesannya bisa terbang tinggi di langit dan sampai pada Alan.
"Engh..."
Chandra buru buru menutup jendelanya, lalu menoleh menatap si bungsu yang terlelap begitu nyaman dikasurnya. Anak itu awalnya cuma gabut dan main ke kamar, terus ketiduran. Heran, yang punya kasur siapa, yang tidur disana siapa.
"Eh? Belum tidur?"
Aji terbangun dengan rambut acak acakannya. Hal itu membuat seorang Abichandra terkekeh gemas, lantas ikut berbaring disebelah sang adik, dan menjadikan lengan kirinya sebagai bantalan untuk Aji.
"Enggak bisa tidur, ya?" Tanya Aji lagi.
"Belum ngantuk aja." Balas Cahndra singkat.
Aji menoleh pada Chandra yang menatap langit langit kamar dengan tatapan kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Raga || NCT dream [END]
Fanfiction"Abang..." "Ya?" "Pernah gak sih, lo nangisin diri lo sendiri karena lo sadar kalau lo gak bisa apa apa?" "Kenapa nanya begitu?" "Karena aku gak tega ngelihat abang kayak gini demi kita." Di sore yang temaram itu, dengan matahari yang mulai terbenam...