“Gadis sialan. Kenapa harus menuliskan nama si bodoh itu di sini..?” desisku hampir tak terdengar sambil kembali meremukkan kertas itu. Dengan penuh emosi, langsung kuarahkan kertas itu ke tong sampah.
Setelah berhasil memasukkan sampah itu, lalu mencibir pada Nanae di bangku seberang, ada baiknya kalau aku melamunkan hal yang indah-indah saja. Ya..seperti pertemuanku yang pertama dengan Manato Matsuzaka. Kira-kira itu terjadi sebulan yang lalu. Di atap sekolah.
“IBU BODOH, KAU BENAR-BENAR IBU YANG BODOH KARENA BERSELINGKUH. LEBIH BAIK AKU MATI JATUH DARI ATAP INI DARIPADA HARUS MENGAKUI BAHWA AKU TERLAHIR DARI RAHIMMUUU….!!!”Saat itu sekolah sudah sepi. Sudah setengah jam berlalu dari waktunya pulang untuk seluruh murid. Aku sangat kesal dan bingung mau meluapkan kekesalan di mana. Maka aku berlari sendirian ke atap dan melakukan aksi bodoh itu. Awalnya kupikir tak ada orang lain selain aku di sana.
“Karena ibumu bodoh, makanya kau telahir sebagai orang bodoh juga!”
Rupanya ada dua orang yang sudah lama berdiri di seberangku. Pemuda yang kemudian kuketahui namanya adalah Manato Matsuzaka. Satunya lagi gadis yang kemudian kuketahui adalah pacarnya sejak SMP, Hotaru Yamada.“Eh, apa-apaan kalian ini? Kenapa diam-diam mendengarkanku bicara?” Inilah kalimat bodoh yang meluncur dari mulutku ketika pandangan mata kami bertemu. Menyadari ucapan yang begitu spontan itu, aku langsung memukul-mukul bibirku sendiri.
“Diam-diam mendengarkan bagaimana? Kami tidak tahu kalau kau akan datang tiba-tiba. Berteriak dan merusak ketenangan kami di sini,” begitulah kata Manato saat itu. Sambil melayangkan senyum yang tampak mengejek. Matanya lalu bergerak menatap Hotaru yang berdiri di sampingnya. Lantas keduanya tertawa kecil.
Aku hanya diam. Merasa jadi gadis paling bodoh di dunia. Tidak tahu mau berkata apa. Ingin segera kabur saja tapi malah tak mampu menggerakkan kaki. Seperti beku!
“Dengar ya, gadis bodoh. Kalau ibumu itu bodoh karena menyelingkuhi ayahmu, cukup keluargamu saja yang tahu. Jangan berteriak sampai orang lain mendengar seperti ini..” lanjut pemuda itu dengan suara yang lebih pelan. Namun tetap saja terdengar menyebalkan.
Pemuda itu, entah kenapa mendengar kata-katanya aku merasa seperti sedang dicambuk berkali-kali. Dan gadis yang sedang bersamanya itu juga, meskipun hanya tersenyum tanpa berkomentar, sanggup membuatku merasa seperti sedang dibakar hidup-hidup.
“Dan kalau mau bunuh diri, pastikan kami tidak akan menjadi saksi mata dari kebodohanmu itu!” Itu kalimat terakhir yang diucapkan Manato padaku. Dan setelah mendengarnya berkata begitu, aku langsung kabur. Dan mulai dari situlah, perasaan aneh selalu menghantui.
Hampir setiap hari, dia selalu muncul di pandanganku. Padahal sebelum kejadian di atap itu, hampir setengah tahun aku bersekolah di sana, aku tidak pernah melihat sosoknya. Dan yang lebih aneh, setiap melihatnya, apalagi saat ia sedang tersenyum, gejolak di dalam diriku begitu kuat. Hasrat yang mendorongku untuk bisa lebih jauh mengenalnya.
“ACHAN, ACHAN..!!!”
“Hei, Hirose Ayaka, kau tidak mendengarkan kata-kataku?!”
“APA..?!!”
Sial! Rupanya lamunan ini disadari oleh Matsuya Sensei! Dan ternyata semua orang di kelas ini sekarang menyaksikan ekspresi bodohku yang baru saja tersadar dari buaian ingatan tentang Manato.“Kau ini bagaimana? Yang lain sibuk mencatat, kau malah melamun!”
“Sumimasen!” ucapku berulang-ulang.
Astaga. Semuanya kini menertawaiku. Apa boleh buat, aku harus berdiri membungkuk berkali-kali untuk memohon maaf pada guru yang paling kubenci ini.
Sedang apa kalian, Nachan dan Shojiro? Kenapa tidak memperingatkanku sejak tadi?
***
Bel terdengar keras memekakkan telinga. Seluruh anak kelas F berteriak girang sambil membereskan buku-buku di atas meja. Waktunya pulang yang telah ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku langsung berbalik mencari Nanae dan Shoji.“Oi, Nachan, Shojiro, ayo kita bergegas pulang!” seruku sambil mengacungkan tangan kanan ke udara.
“Kenapa terburu-buru sekali, hah? Bagaimana kalau kita mampir dulu ke warung Pak Nozawa?” celoteh Nanae sambil berjalan menghampiriku.
“Boleh saja, kalau kau hendak mentraktir!” sahut Shoji sambil melepaskan rompinya. Aku langsung mengangguk semangat tanda setuju.
Nanae nampak memutar mata. Aku langsung menarik tangannya, membawanya berjalan ke luar kelas.Shoji langsung mengikuti kami dengan langkah lebar-lebar. Seperti biasa, kalau sudah berkumpul bertiga maka kami tak bisa diam. Saling ejek dan berceloteh panjang. Kami berjalan bersama menyusuri koridor.
“Shojiro, kau tahu tidak hari ini Achan menceritakan tentang orang yang ia cintai di sekolah ini?”
Begitu kaget mendengar kalimat itu meluncur lancar dari mulut Nanae. Aku langsung menyergapnya dengan kedua tangan. Shojiro juga nampak kaget mendengar itu. “Apa? Benarkah gadis bodoh ini sedang jatuh cinta?” cecarnya. Lalu mendaratkan tangan kanannya di bahuku yang langsung kutepis.
“Bualan macam apa ini? Sama sekali tak perlu didengarkan!” bantahku. Saking seriusnya memperingatkan Shoji agar tidak mempercayai kata-kata Nanae, aku lupa menutup mulut gadis itu lagi untuk menghentikannya berbicara lebih jauh.
“Tentu saja ini bukan bualan. Achan sedang jatuh cinta pada anak kelas B. Cinta pada pandangan pertama!” Nanae berkicau lagi. Aku buru-buru berbalik dan mencegahnya untuk kembali berbicara.
“Oh ya? Seperti apa orangnya? Apa tak lebih tampan dariku?” Shoji mulai mengolok-olokku sambil tertawa keras. Tangannya mulai memukul-mukul pelan kedua bahuku.
“Bisa minggir sebentar?!”
Menyadari kehadiran seseorang di belakang, kami bertiga langsung diam. Kemudian menengok orang itu hampir serempak. Astaga. Itu dia. Dia..!
“Kalian seharusnya mencari tempat yang tepat untuk mengobrol dan bercanda. Jangan di tengah jalan seperti ini..”
“Oi, siapa kau ini? Bicaramu yang biasa saja, tidak perlu menggurui seperti itu!” Shoji langsung menyahut. Nampaknya ia terpancing emosi. “Merasa hebat kau ya?!”
Aku langsung menarik lengan kemeja Shoji. “Hentikan, Shojiro!” seruku cemas. Kulayangkan pandangan menatap pemuda yang sedang tertawa kecil di seberang.“Manato Matsuzaka anak kelas B..” Nanae mendesis.
Ya, itu Manato. Pemuda yang kusukai. Mendengar kalimat tak menyenangkan yang diucapkan Shoji, ia hanya tersenyum. Debaran jantungku keras sekali, semakin tak menentu. Membuatku hampir sesak nafas. Apa yang harus aku lakukan?
“Gomennassai!” Aku langsung membungkukkan badan berulang-ulang di hadapan Manato.
“Hentikan, ini terlalu berlebihan!” terdengar cowok itu menyahut.***
Bersambung ke Chapter 3
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayonara, Sky
Teen FictionPertemuanku dengannya cukup konyol. Saat sekolah sudah sepi, aku naik ke atap dan meneriakkan semua kekesalanku di sana. Tanpa sadar, pemuda itu juga ada di tempat yang sama dan mendengarkan semuanya. Selama enam bulan aku bersekolah di sana, belum...