Chapter 14

1 1 0
                                    

Ada rasa lega ketika aku tidak menemukan sosok Manato di manapun. Aku tidak mau dia melihatku sangat konyol seperti itu. Ada di mana dia saat itu ya? Ah, yang penting dia tidak menyaksikan kejadian itu. Dan sekarang, aku harus melupakan saja hari bodoh ini dan menghilangkan segera rasa bosanku.

Lagi-lagi ketika harus sabar menunggui Toyama Sensei selesai dengan materi hitung-menghitungnya, tangan ini langsung menyergap kotak pensil hijauku.

Kupandangi sebentar gambar kucing yang sedang tidur di kotak itu sambil tersenyum nakal, lalu kubuka pelan. Di bawah pena dan pensil lusuh yang seharusnya sudah jadi penghuni kotak sampah kelas F itu, masih banyak sobekan kertas yang sudah kusiapkan untuk dicoret-coret.

Ah sial. Aku jadi teringat fungsi kertas ini yang sesungguhnya. Sobekan kertas ini selalu kugunakan untuk ditulisi hal-hal bodoh kemudian dilemparkan pada Nanae. Setelah melempar dan menerima remukan kertasnya, kami selalu menyembunyikan ribuan rasa geli di balik tatapan datar tanpa dosa kami sampai waktu pergantian jam pelajaran datang.

Mungkin, hal-hal bodoh yang biasa kami lakukan bersama seperti chatting lewat lemparan kertas untuk menghilangkan bosan di kelas tidak bisa terulang lagi. Jikalau bisa diulang tapi dengan orang yang berbeda pun rasanya pasti akan timbul rasa rindu pada Nanae.

Nachan, apa kau selamanya akan memusuhiku demi Sakura-chan?
Ya, aku mengerti dia satu-satunya saudara perempuan yang kau punya sejak kecil. Aku tahu rasa sayangmu padanya tidak bisa dibandingkan dengan persahabatan kita yang belum menginjak umur satu tahun. Tapi bisakah aku akrab dengan yang lain seperti akrab denganmu?

Nachan, apa aku harus benar-benar melupakan perasaanku pada Manato dan mengalah pada Sakura? Apa tidak begitu pentingnya rasa cinta yang sudah kupendam ini dibandingkan persahabatan yang kita punya? Apa kau tidak bisa bayangkan kalau kau berada di posisiku, dianggap tidak penting seperti ini?

***

Bel tanda waktu makan siang tiba akhirnya berbunyi. Ah, perutku lapar sekali sampai terasa sakit. Hei perut, kau harusnya tahu kalau tidak akan menerima makanan dari Nanae lagi mulai sekarang!

“Itadakimasu!!!”

Aku langsung menutup kedua telinga dengan tangan begitu terdengar pekikan Shoji yang begitu nyaring dan suaranya menggeret meja.
“Baka, apa yang kau lakukan?” decisku pelan sambil melemparinya tatapan kesal sekaligus bingung.

Shoji menyeringai lebar sambil lanjut merapatkan meja milik Taro Ueno yang duduk di sebelah ke mejaku. “Seperti biasa yang kita lakukan, makan bersama. Tapi tidak lagi di meja Nanae..”

Ujung kalimatnya itu yang membuat suasana mendadak hening di antara kami. Meski di sekitar kami suara bising dan tawa penghuni lain di kelas F ini terdengar membahana, kami sepertinya tak bisa membaur lagi. Membaur mengikuti keceriaan mereka.

Sambil menunduk, aku yakin sekali Shoji melihat air mukaku yang menyedihkan. Setelah membuka kotak bento birunya, ia langsung menyergap kedua tanganku.

“Achan, ayo bantu habiskan ini semua!” rengeknya seakan anak kecil yang manja padaku. “Kau tahu aku tidak bisa menghabiskan semuanya seperti biasa kan? Tapi kalau berdua pasti bisa. Ayo!”

Menyenangkan ketika mengetahui masih ada orang yang tetap bertahan di sampingku selama bertahun-tahun. Sejak kecil kami selalu bersama, Shoji yang enam bulan lebih tua dariku malah kuanggap seperti adik sendiri. Adik yang selalu menjahili dan menciptakan tawa di hidupku yang seperti anak tiri. Lalu apa dia akan pergi juga nantinya?

Teman yang lain selalu datang dan pergi tanpa permisi. Ada yang pergi karena memang harus dijauhkan oleh takdir, ada pula yang pergi karena rasa benci seperti Nanae dan Sakura. Ya, Nanae dan Sakura membenciku sekarang.

“Achan, tak usah menangis. Aku benci melihatnya..”

Ah, bahkan aku tak menyadari sejak kapan pipi ini mulai basah. Langsung saja kuusap buliran bening yang mengalir tanpa permisi dari kedua mata ini dengan tanganku sendiri. Kucoba melengkungkan sisa senyum yang kupunya. Aku juga tidak mau rapuh seperti ini.

“Sudahlah. Ayo pegang sumpit ini!” perintah Shoji seakan aku ini adiknya. “Untuk hari ini, sumpit ini milikmu. Sudah, jangan membuatku benci dengan tangisanmu itu!”

Si bodoh ini, masih saja sempat memaksaku untuk tertawa.

Ramainya tempat ini membuatku pusing. Manusia ada di mana-mana. Mereka berjalan dengan cepat sampai-sampai menabrakku dengan kasar. Hei, kalian tidak tahu aku sedang kebingungan? Sepertinya aku tersesat!
Beberapa orang melihat ketika aku melambaikan kedua tangan ke atas dengan pelan. Tapi kenapa tidak ada yang menghiraukan? Apa kalian semua memang sombong seperti ini dengan orang tak dikenal?

Baiklah, sepertinya aku butuh cara lain. Anehnya, seingatku ini masih musim panas. Lalu kenapa aku dan semua orang malah mengenakan pakaian ala winter? Eh, ngomong-ngomong, banyak salju di sana-sini. Dan tanganku juga terbungkus sarung tangan.

Sepertinya sekarang memang musim dingin ya? Ah, sudahlah. Tanganku pun lanjut membuka lipatan syal putih di leher yang langsung membuat dingin menyergap dan menusuk.

Sambil menguap-uapkan hawa dari mulut untuk menghangatkan sekitar wajahku, kuangkat syal itu ke atas dan kugoyang-goyangkan ke udara. Lalu berteriak sekencang-kencangnya.

“SESEORANG TOLONG AKU, AKU TERSESAAATTT…!!!”

Beberapa kali aku berteriak sampai suara ini serak dan tenggorokanku mulai perih. Yang benar saja, tidak ada yang mengacuhkanku? Saat baru saja aku menyerah dan menghembuskan napas kasar ke bumi, sebuah telapak tangan yang hangat mendarat di pundak.

“Achan, kenapa kau sendirian di sini?”
Aku langsung menoleh dan berbalik menatap cowok bermantel cokelat dengan syal hitam melilit lehernya itu. Dia menatapku kebingungan. Hembusan napasnya terbentuk jelas di udara.

“Manato-kun!” pekikku girang seraya memeluknya erat. Ah, hangat sekali tubuhnya. Ini pertama kalinya aku memeluk pemuda itu seperti ini!

“HIROSE AYAKA!!!”

Hei, siapa yang barusan meneriakkan namaku dengan begitu kasar? Aku langsung berbalik dan melebarkan mata. Kutatap gadis yang kini berdiri di hadapan kami dengan heran.

“Sakura-chan?!”
“JLEB!!”

Terlambat. Pisaunya sudah menancap di jantungku. Masih kaget, namun langsung kupegang pisau itu. Aneh, tak ada rasa sakit sama sekali. Lalu tanpa rasa takut sedikit pun, kutarik pelan pisau itu sampai lepas. Lagi-lagi, tak ada rasa sakit.

***

Bersambung ke Chapter 15

Sayonara, SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang