Chapter 19

1 1 0
                                    

Rasanya gelisah sekali malam ini. Berulang kali kubolak-balik badan sampai-sampai selimut hijau kesayangan ini terus jatuh ke lantai. Dan dengan kesal luar biasa, aku harus bangkit mengambil selimut itu. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berusaha untuk memejamkan mata.

Aneh. Padahal mata ini sudah terasa berat dan lelah. Bahkan rasa kantuk sudah mengumpul namun aku masih tidak bisa untuk terlelap. Ada yang mengganjal pikiranku sejak tadi.

Aku terus teringat Manato. Aku tidak bisa melupakan kejadian yang tadi siang terjadi. Sikapnya yang semakin lembut padaku. Seakan menemukan kenyamanan ketika aku berada di sekitarnya.

Dia benar-benar berbeda dengan Manato yang pertama kali kulihat. Manato yang menatapku dengan tajam dan heran saat itu entah sudah kemana sekarang. Manato yang bersikap cuek pada kami ketika bertemu di koridor sekolah pun sekarang sudah berubah.

Manato yang membuatku merasakan sesuatu yang bergelora, seperti ingin menyampaikan sesuatu padaku sekarang. Dia yang menerima kedatanganku begitu saja, bahkan juga mendatangiku tiba-tiba. Dan sekarang merespon dengan yang tak terduga pula. Sulit untuk menerima kenyataan yang seperti ini, tapi aku sangat bahagia.

Aku bahagia setiap wajahnya yang sedang tersenyum dan terpejam muncul di benakku, seperti sekarang. Jika aku teringat tentangnya, aku jadi membayangkan sendiri sedang apa dia di sana.

Mungkin dia sudah terlelap. Atau masih mengerjakan shukudai di kamarnya? Baiklah, karena malam semakin larut, lebih baik aku mencoba memejamkan mata sekali lagi.

Oyasumi nasai,  Manato-kun.


***

Aku baru saja meletakkan tas di dalam loker kemudian menutup pintunya lagi ketika sebuah lengan seorang gadis tiba-tiba meremas bahu kiriku dari belakang. Kemudian ia memaksaku untuk menghadap wajahnya. Sorotan mata tajam langsung menyergap. Memacu jantungku untuk berdebar semakin kuat.

“Ini yang kau sebut pertemanan?!”

Nanae Tachikawa.
Ya, dialah gadis yang berada di hadapanku sekarang. Gadis yang beberapa hari lalu masih merupakan teman sekelasku yang paling akrab. Namun kini berbalik memusuhiku.
Kuperhatikan mata, tatapan, serta ekspresi di wajahnya. Lalu tanpa rasa takut sedikit pun langsung kutepis lengan gadis itu dari bahuku.

“Kau mau apa lagi?” tanyaku pelan namun sinis.

“Kau ini!!”

Nanae menatapku sangat geram. Digertakkan semua giginya. Jujur saja, ini ekspresinya yang paling menyeramkan yang pernah kulihat. Aku semakin penasaran, mau apa lagi dia sekarang?

“Ayaka, seharusnya kau sadar kalau aku tidak mungkin akan membiarkanmu menyakiti Sakura!” teriaknya sambil menatapku tajam.

“Aku tahu, tapi bukankah kau sendiri yang membiarkan dia menyakitimu selama ini? Lantas kenapa sekarang kau malah membiarkan saja dia juga menyakitiku yang harus kehilanganmu?!” balasku tak kalah sinis. “Bagaimana dengan Kenji Mishima ?!”

Bisa kulihat guratan kekagetan melintas di wajah gadis itu. Aku yakin sekali dia sangat terkejut dengan apa yang barusan kuucap. Mungkin, selama ini dia hanya menganggapku sebatas gadis bodoh yang lemah. Tapi jika sudah dalam keadaan yang seperti ini maka emosiku akan sangat sulit untuk dikendalikan. Semua orang bisa berubah menakutkan jika sudah diusik ketenangannya bukan?

Ada sedikit rasa menyesal kini menari-nari di otakku. Karena aku telah mengingatkannya dengan rasa sakit yang ia pendam selama ini. Tidak seharusnya aku menorehkan lagi pisau ke lukanya itu.

Nanae merupakan anak tunggal di keluarga Tachikawa. Namun tiba-tiba saja ia mendapat saudara perempuan di umurnya yang menginjak empat tahun. Sakura adalah sepupunya yang harus kehilangan kedua orangtua dalam kecelakaan lalu lintas.

Beberapa bulan yang lalu, Nanae muncul di depan rumahku ketika malam sudah larut hingga kubiarkan saja ia menginap. Saat itu dia bertengkar hebat dengan Sakura. Dengan berurai air mata, ia menceritakan penyebab pertengkaran mereka.

Nanae diam-diam menyukai Kenji Mishima sejak lama. Padahal gadis itu tahu betul bahwa cintanya tak berbalas. Kenji malah menyukai Sakura. Pemuda itu dengan setia selalu menyempatkan diri untuk membantu Sakura dan selalu berada di sampingnya.

Meskipun tahu kenyataannya seperti demikian, Nanae tetap menyimpan perasaan itu dalam-dalam. Hingga suatu hari ia mengungkapkannya kepada Kenji. Ketika pemuda itu sedang berkunjung ke rumahnya.

Sakura yang tak sengaja menyaksikan hal itu segera menampar Nanae dan memarahinya dengan alasan yang tidak jelas. Padahal Sakura sendiri tidak pernah membalas perasaan Kenji. Tapi dia berbuat seperti tidak memperbolehkan Nanae untuk memiliki pemuda itu.

Sakura, gadis yang terlahir dengan kecantikan sempurna itu menurutku terlalu egois. Selama ini Nanae selalu menyayangi dan mengalah untuknya dalam segala hal. Bahkan Sakura-lah yang justru menjadi kesayangan kedua orangtuanya, bukan Nanae.

“Nanae Tachikawa, sampai kapan kau harus mengalah dan melindungi perasaannya tanpa memikirkan perasaanmu sendiri?!”

Melihat buliran bening yang perlahan muncul dari kedua sudut matanya, rasa sakit mulai menggores hati ini. Air mata pun perlahan menitik, membasahi kedua pipiku. Aku tidak tahan lagi dengan kondisi yang seperti ini.

“Aku tidak akan mau mengalah dengan keegoisan yang dia punya!” seruku lirih sambil menatap dalam-dalam wajah Nanae yang kini menunduk dan membasuh pipinya yang basah.

“Kau juga jangan mau jadi pecundang!” pekikku dengan kesal sambil mengelap habis buliran bening yang menjatuh dari sudut mataku.

Dan dengan cepat, gadis itu menyergap bahuku. Ia menangis dengan keras. Menangis hingga bisa kudengar semua isakan dan desahan napasnya. Bisa kubayangkan perasaannya saat ini. Pasti begitu sakit.

Menangislah di pelukanku selama apapun yang kau mau, Nanae Tachikawa. Tumpahkanlah semua rasa sakit yang kau pendam selama ini agar sesak di dadamu perlahan menghilang. Aku ingin melihat lagi senyum menghiasi wajahmu.

Perjuangkanlah cintamu, Nachan. Kau juga berhak bahagia. Perjuangkanlah cintamu selagi bisa, asalkan tidak dengan cara yang keji.

***

Bersambung ke Chapter 20

Sayonara, SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang