Aku masih tersenyum. “Karena penghuninya memang merasa kesepian ditinggal pemimpin keluarganya. Otou-san jarang sekali pulang ke sini..” balasku dengan wajah tak kalah sedih kemudian.
“Kau mau menyalahkanku karena aku yang memerintahkan ayahmu untuk mengurusi perusahaan kakekmu di luar negeri? Ayahmu itu penerus pertama, jadi itulah tanggung jawabnya..” jelas Obaa-san padaku. Meski aku sudah tahu betul itu hanya salah satu alasan Otou-san untuk jarang pulang.Aku menggeleng pelan. “Atashi tidak menyalahkan Obaa-san. Kami pun sudah menerima keputusan itu sejak awal kan? Hanya saja, setidaknya Otou-san ada waktu untuk pulang sebulan sekali..”
“Jadi benar isu kalau Toshi hanya pulang paling banyak tiga kali dalam setahun?!” Obaa-san menaikkan volume suara. Wajahnya nampak sangat kaget mendengar jawabanku tadi.
Nampaknya aku salah omong lagi. Benar-benar kekuranganku adalah suka menceplos tanpa pikir-pikir dahulu. Tentu saja Obaa-san awalnya tidak tahu akan hal ini.
“Aku sudah curiga ada sesuatu yang aneh dengan hubungan rumah tangga ini!” pekik Obaa-san sambil beranjak dari posisi duduknya. Namun sedetik kemudian, dia mengaduh sakit pinggang lalu duduk kembali. Membuatku tertawa kecil.
“Dari awal, aku memang tidak setuju dengan perjodohan yang dipaksakan oleh kakekmu. Aku sendiri sudah punya calon yang lebih baik dari ibumu itu!”
Obaa-san kembali mencoba berdiri, membuatku refleks membantunya untuk berdiri tegak. “Aku sudah tidak tahan lagi dengan wanita itu. Ia tidak mampu menciptakan rumah tangga yang bahagia!!” tukasnya emosi.
“Obaa-san, jangaaaaann…!!!” Aku buru-buru memekik dan menghalanginya untuk keluar dari ruangan itu. Bisa-bisa terjadi perang dunia ketiga nantinya!
“Kau kenapa menahanku?!” Obaa-san memukul-mukul kedua tanganku yang memegang erat pinggulnya dengan tangannya yang kurus berkeriput. “Aku sudah menahan pipis dari tadi!” katanya bingung.
Giliran aku yang kebingungan. “Eh, jadi Obaa-san mau ke mana?”
“Aku mau ke toilet!” jawab Obaa-san sambil mengerucutkan bibirnya dan mengekerutkan kening. Menoleh menatapku dengan bingung. Ah, ternyata!
Aku langsung menghela napas lega. Kupikir Obaa-san akan segera memarahi Okaa-san. Seketika kulepaskan peganganku dan Obaa-san buru-buru pergi.
“Ehm, Obaa-san, Okaa-san di mana?!” teriakku sebelum Obaa-san hilang dari pandangan.
“Setelah kau pergi tadi pagi, sejam kemudian dia menghilang!”
Begitu ya? Aku baru tahu kalau ternyata Otou-san dan Okaa-san menikah tanpa cinta. Ya wajar beginilah jadinya. Akhirnya pendapatku tepat sasaran. Otou-san memang senang bekerja jauh di sana.
Hening kembali, seperti biasa. Suasana washitsu yang dipenuhi kilatan sinar mentari senja karena memang dinding yang menghadap ke luarnya terbuat dari kaca. Meski setiap harinya di ruang yang berlantai kayu ini aku hanya bisa mendengarkan suara dentingan lonceng angin, sibakan gorden cokelatnya, dan suara kicauan burung, tapi inilah tempat favoritku yang kedua di rumah setelah kamarku sendiri.
Di sisi dinding kaca ruangan inilah aku biasa melamun bahkan menangis. Berbagi kisah dengan pemandangan langit di luar sana. Dan tak pernah juga aku bosan memperhatikan potret keluarga kecil kami yang tersenyum penuh dusta.Foto besar yang dipajang di dinding dengan wallpaper motif kayu di sisi kanan ruangan.
***
Ohayou!
Aku dan Shoji baru saja tiba di sekolah. Kami melenggang ke tempat parkir sepeda bersama sambil cekikikan seperti biasa. Pagi ini betul-betul terik. Sinar matahari terasa membakar kulitku dan merubahnya hitam seketika. Inilah yang kubenci setiap musim panas.Cukup lama aku berdiri diam setelah merapikan posisi sepeda. Meratapi kulit tanganku sambil mengusap-usapnya dengan kesal, sembari menunggu Shoji selesai merapikan sepedanya.
“Hei, kuncir kuda, kenapa kau meringis begitu?” tanya Shoji sambil berjalan ke arahku. Matanya bergerak memperhatikan setiap lekukan di wajahku.
“Aku benci musim panas! Tidakkah kau lihat, kulitku memerah begini?!” cetusku sambil berbalik meninggalkannya.
“Dasar anak perempuan!” teriak Shoji sambil berjalan cepat mengerjarku. “Hei, aku belum menyelesaikan semua shukudai. Kau sudah selesai kan?”
Aku mendesis panjang. Kutarik-ulur tali tas di bahu sembari mencecar padanya. “Kau ini bagaimana, bukankah itu shukudai pelajaran pertama? Apa kau tidak takut lagi dimarahi oleh Sensei?”
Shoji mendekatkan wajahnya ke wajahku. Membulatkan kedua bola mata, menatapku lekat-lekat. “Matsuya Sensei yang kau maksud?” tanya pemuda itu. Aku mengangguk malas, tak mau membalas tatapannya. Dia pun kembali menjauhkan wajahnya.
“Aku tidak takut sama sekali dengan orang tua itu!” seru Shoji sambil mengacungkan tangan kanan ke udara kemudian tertawa dengan keras.
Akhirnya kami memasuki koridor. Shoji menggamitkan tangan kanannya ke leherku. Ini sudah biasa dia lakukan sejak kami kecil. Ya, meskipun aku selalu mencoba melepaskan posisi tangan ‘sok akrab’ itu, tapi dia tetap saja melakukannya. Aku sangat membenci kebiasaannya ini karena orang lain yang melihat pasti akan menganggap kami pacaran.
“Ohayou!” terdengar suara Nanae menyapa. Wajahnya menyembul dari balik pintu ketika kami baru saja mau memasuki kelas setelah menukar sepatu luar dengan uwabaki.
“Ohayou!” Aku dan Shoji menjawab berbarengan. Kami pun berjalan ke kursi masing-masing. Mulai terdengar yang lain menyapa kami sahut-sahutan, membuat kami kewalahan membalasnya.
“Achan, mana bukumu? Cepat!” Shoji langsung memandang ke arahku dengan wajah agak cemas ketika aku baru saja menurunkan tas dari pundak.
“Katamu tidak takut dengan Matsuya sensei? Kalau begitu sekalian saja tidak menyelesaikan shukudai darinya!” seruku. Kemudian mencibir ke arahnya.
Dia langsung membalas dengan tatapan super kesal. Sedetik kemudian, dia langsung bergerak cepat mendekatiku. Merebut tas dari tanganku dan mulai mengacak-acak isinya.
“Suzuki Shoji sesungguhnya adalah seorang pembual..!!!” pekikku kesal. Lantas semua anak di kelas langsung mendelik heran ke arah kami.
“Apa-apaan kau ini? Tidak usah heboh begitu!” Shoji berteriak padaku setelah berhasil mendapatkan bukuku yang dicarinya lalu berlari ke kursinya lagi.
“Suzuki Shoji adalah seorang pembual..!!” pekikku lagi sambil melirik tanpa dosa ke arahnya. Dia langsung menoleh dan menatapku marah. Kemudian diacungkan tinjunya ke arahku.
Aku pura-pura tidak melihatnya lagi. Lalu berlalu menuju loker yang terletak di bagian belakang kelas untuk menyimpan tas.
***
Bersambung ke Chapter 8
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayonara, Sky
Teen FictionPertemuanku dengannya cukup konyol. Saat sekolah sudah sepi, aku naik ke atap dan meneriakkan semua kekesalanku di sana. Tanpa sadar, pemuda itu juga ada di tempat yang sama dan mendengarkan semuanya. Selama enam bulan aku bersekolah di sana, belum...