Baru saja kulangkahkan kaki hendak pergi ke atap, Nanae buru-buru menyetop gerakanku dengan seruannya. Sudah kuduga, mereka pasti akan memaksa untuk makan bersama.
“Achan, habiskan dulu satu onigiri baru kau boleh pergi menemuinya!” cetus Nanae sambil menatapku kesal. Selesai bicara, ia langsung menjepitkan sumpit dengan kasar ke sayuran di kotak bento Shoji. Lalu langsung melahapnya.
Aku masih terdiam di tempat. Berdiri lemas menatap Shoji dan Nanae yang sibuk mengunyah makanan dengan mata tak lepas memandangiku dengan kesal. Apa-apaan ini? Yang katanya teman, sekarang malah menghalangiku di saat kesempatan untuk mendekati pemuda yang kucintai sudah terbuka lebar?
“Kenapa kau masih berdiri di situ?!” pekik Shoji sambil menaikkan sebelah alis. “Cepatlah kau ke sini dan habiskan onigiri-mu, Nachan sudah berbaik hati membawakannya untukmu kau malah tak mau menyentuhnya?!”Sembari mempererat kedua tanganku yang menyilang di depan dada, kuhela napas ke udara dengan keras. Kutatap cowok menyebalkan yang kini menunjuk-nunjukku dengan sumpit itu dengan malas.
“Kalian dengar ya, mulai hari ini siapapun dari kalian tidak perlu membawakan bento untukku,” bibirku bergerak lancar. “Aku tak butuh makan siang lagi, sekarang yang aku butuhkan hanya berada di dekatnya!”
“NANI?!” Shoji memekik.
“Kau bilang apa barusan?!” Giliran Nanae yang memekik.Melihat kekagetan mereka berdua, senyum kemenanganku mulai mengembang. Enak saja kalian mau mengatur, akan kulakukan sesukaku karena hidup ini milikku!
“Achan, kau ini sudah gila? Kau tidak pernah sarapan di rumahmu. Sekarang kau bilang tidak perlu makan siang?!” celoteh Nanae sambil mengerutkan kening. Wajahnya tampak menyedihkan dengan poni yang ditahan dengan bando ke belakang kepala. Dan rambut ikal tipisnya dikumpul jadi satu dalam satu cepolan kecil.
“Oi, apa kau ini tidak pernah mengukur berat badanmu dan sebesar apa lingkar lenganmu?!” Shoji kembali berteriak bawel.
“Sudah, kalian diam saja!” balasku berteriak.
Aku tahu betul mereka bertindak seperti ini karena menyayangiku. Seperti satu keluarga, mereka selalu memperhatikan makanku. Karena itu mereka pasti cemas kalau tahu aku yang hampir tidak pernah sarapan sekarang malah menolak untuk makan siang.Okaa-san tidak pernah mau membuatkan makanan untukku ketika Otou-san tidak ada di rumah. Beliau selalu bersikap dingin padaku. Tidak pernah memedulikan kesehatanku apalagi pola makanku. Hanya saja setiap hari jika pulang, dia suka membawa makanan dan meletakkannya saja di kulkas. Setiap aku memakannya, dia tak pernah marah.
Sambil tak melepaskan senyum dari pandangan mereka, aku langsung berbalik dan bersiul riang. Lima langkah keluar dari kelas, aku pun langsung mempercepat langkah. Melewati kelas demi kelas lalu menaiki tangga. Menuju ke tempat dimana Manato berada. Aku yakin sekali dia pasti ada di sana.
Dengan hati-hati kutapaki anak tangga dengan jantung yang berdebar kencang. Kami-sama, membayangkan akan segera menatap wajahnya dari dekat seperti ini saja sanggup membuatku setengah gila seperti ini.
Aku mencintai Manato Matsuzaka. Demi apapun juga, aku mencintainya. Semua yang kurasakan ini karena aku sungguh-sungguh mencintainya!
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Langkahku berhenti seketika. Kuterka kaki jenjang milik siapa yang kini tepat di depan mata. Aku mendongak menatap gadis itu. Kukerjapkan mata perlahan. Sakura? Kenapa dia menyapaku dengan sinis seperti itu? Kenapa pula dengan tatapan yang begitu tajam itu?
Sakura menghentikan langkahku dengan berdiri menutupi jalan. Ia menatapku seperti mengintimidasi, sambil kedua tangannya dilipat di depan dada. Apa yang sedang dipikirkan oleh gadis cantik ini?
“Sakura-chan, aku mau ke atap. Bisa kau menggeser sedikit agar aku bisa kembali naik?” tanyaku hati-hati. Kucoba menyelami sorotan mata itu.
“Kau tidak dengar tadi aku bilang apa? Aku tanya apa yang mau kau lakukan di sini?!” Gadis itu malah menjawab dengan nada membentak.Aku memejamkan mata sejenak. Aku tidak percaya. Bagaimana bisa gadis yang sudah menjadi sahabat ini sekarang bicara begitu sinis seperti menganggapku musuhnya?
Ah, benar. Aku teringat hari di mana dia menceritakan bahwa ia juga menyukai orang yang juga kusukai. Ya, dia juga sepertinya sudah sejak lama memendam perasaan pada Manato. Mungkin, dia tahu tujuanku ke sini adalah untuk mendekati Manato. Dan sekarang ia mencoba menghalangiku.
Kubuka mata perlahan, kembali kutatap matanya. Wajah cantik itu kini merah padam. Ada guratan kemarahan di sana. Kedua alisnya mengernyit. Kedua mata itu tak lepas memandangiku dengan sinis.
Semua itu sanggup membuatku diam mematung seharian di sini. Aku tidak mungkin melawan dan balik mengucapkan kata-kata sinis padanya. Tidak mungkin aku menyakiti gadis manis yang dari awal kukenal sudah begitu baik padaku. Tidak mungkin aku akan memusuhinya!
“Aku tahu tujuanmu datang ke sini pasti untuk Manato,” lanjut Sakura, “aku juga tahu kalau kau menyukainya. Tapi, tidakkah kau ingat kalau aku pun menyukainya?!”
“Aku tidak melupakan hal itu sama sekali..”
“Aku tahu kau mencintainya. Tapi tidak pernahkah kau bayangkan betapa tersiksanya aku selama ini?!”Aku sadar lebih baik memilih diam dan mendengarkan kata-katanya saja. Meskipun aku tahu betul semua itu hanya sebagai sebuah pembelaan untuk melarangku mendekati Manato.
“Achan, aku satu kelas dengannya. Setiap hari aku melihatnya membalas senyumanku dan membalas sapaanku. Setiap hari kami mendiskusikan pelajaran bersama. Kami duduk berdekatan, aku selalu menyaksikan setiap perubahan mimik di wajahnya. Kau tidak akan pernah merasakan seperti apa yang kurasakan!”
Nada suaranya meninggi. Aku maklum dengan semua itu, tapi haruskah aku mengorbankan sedikit rasa yang aku punya? Ah, tidak. Rasa yang sudah menggebu-gebu dan memenuhi seluruh pikiranku. Yang selalu memburuku untuk segera mencari dan menatap wajahnya. Apa harus kukorbankan semua itu? Demi rasa yang dimiliki gadis ini?
Ah, apalagi setelah ini? Hal yang kubenci terjadi juga. Buliran-buliran bening mulai meluncur dari kedua sudut mata indahnya. Dia menangis..
***Bersambung ke Chapter 12
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayonara, Sky
Teen FictionPertemuanku dengannya cukup konyol. Saat sekolah sudah sepi, aku naik ke atap dan meneriakkan semua kekesalanku di sana. Tanpa sadar, pemuda itu juga ada di tempat yang sama dan mendengarkan semuanya. Selama enam bulan aku bersekolah di sana, belum...