“Kau tidak akan pernah mengerti apa yang kurasakan ini. Bahkan, aku merasa sangat bahagia di kala sahabatku sendiri, Hotaru Yamada, kekasih Manato itu akhirnya pergi untuk selamanya dari dunia ini. Aku tidak perlu repot-repot untuk menyingkirkannya!”
Menyedihkan sekali. Ia masih sanggup tertawa sambil menangis seperti itu? Ia merasa geli karena satu rival terberat akhirnya tersingkir dengan sendirinya? Gadis ini apakah tidak punya hati?
Bahkan untukku, hal pertama yang aku bayangkan saat mendengar berita meninggalnya Hotaru adalah perasaan Manato sendiri. Rasa empati seketika muncul di hati ini. Tapi Sakura? Ia mungkin gadis pertama yang begitu bahagia dengan kabar duka itu. Gadis ini sungguh mengerikan.
Kulangkahkan kembali kakiku. Kali ini dengan berani aku berdiri tepat sejajar di depannya. Kutatap kedua mata itu dengan tajam.
“Lakukan apa yang mau. Aku tidak akan pernah menghalangimu seperti yang kau lakukan padaku sekarang,” kataku sambil menahan napas.
Perlahan, tatapan sinisnya berubah menjadi senyum yang mengembang. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Yang jelas wajahnya semakin terlihat mengerikan bagiku.
“Achan, kau masih ingat kata-kataku hari itu di Karaoke-Kan?”
Ya, aku masih ingat dengan jelas apa yang ia katakan saat itu. Mulai dari pertama aku menceritakan rasa sukaku dengan Manato, sampai ia membuka rahasia bahwa ia juga memendam rasa cintanya pada pemuda itu. Juga bagaimana ia menasehatiku untuk tidak mengusik hubungan mereka. Ah, satu lagi, dia pernah mengatakan sesuatu.
“Saat itu, aku mengatakan akan bersaing denganmu untuk membuat mereka putus. Tapi tentu saja benar itu hanyalah sebuah candaan,” ujar Sakura sambil kembali menatapku dengan sinis. Namun kali ini, kubalas tatapan itu dengan tak kalah sinis pula.
“Tapi kali ini, aku katakan akan bersaing denganmu untuk merebut hati Manato. Dan ini bukan candaan!” Sambil berkata begitu, wajahnya kembali merah padam.
“Lakukan saja sesukamu. Tapi ingat, jangan coba lagi untuk menghalangiku!”Kuberanikan mata untuk untuk membalas tatapannya. Ya, tak akan kubiarkan ia menganggapku sebagai seseorang yang mudah untuk dijatuhkan. Tapi akan kubuat diri ini menjadi sebuah ancaman yang seharusnya ditakuti.
“Biarkan saja semuanya terjadi dengan alami. Biar Manato sendiri yang akan memilih siapa di antara kita yang pantas untuknya,” kataku mantap.
Baiklah, aku puas dengan ekspresi kagetnya kali ini. Aku puas membuatnya melihat sisi lain dari diriku. Aku yang tampak seperti gadis bodoh, tampak seperti gadis yang patut untuk diremehkan, tidak lagi kali ini. Aku akan berubah menjadi diriku yang sesungguhnya begitu saatnya tiba. Ya, saat-saat seperti ini.
Hening. Hanya suara decitan pintu atap yang sudah rusak yang digerakkan oleh angin yang terdengar. Sakura tak bisa menjawab kata-kataku kali ini. Perlahan dia pasti akan memikirkan apa yang sedang kumaksudkan. Sebuah perlawanan.
Begitu kubalikkan tubuh dan mulai menuruni anak tangga, bel tanda waktunya istirahat telah berakhir pun terdengar. Ah sial, waktuku terbuang percuma karena harus menyumpal mulut gadis ini.
Aku gagal menemui Manato. Baiklah, aku harus secepatnya pergi dari sini sebelum Manato memergoki kami dengan tatapan bingung. Cepat-cepat kulangkahkan kaki menuruni anak tangga meninggalkan Sakura di belakang.
***
Kubiarkan saja angin musim panas membelai lewat jendela kamar yang kubuka lebar pagi ini. Suara sibakan gorden terdengar lembut menabrak dinding dan bingkai jendela. Suasana seperti ini, setiap hari kutemui tanpa bosan.Lima menit berlalu sejak selesai merapikan seragam musim panas di badan. Kemeja putih lengan pendek, rok bermotif kotak cokelat yang dikombinasikan dengan warna biru tua, dan dasi pita warna biru tua. Aku masih berdiri di depan kaca. Tanganku sibuk menyisiri rambut panjang lurusku yang sebenarnya sudah rapi sejak tadi.
Ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Ya, aku memimpikan hal terburuk yang bisa saja terjadi di dunia nyata mulai saat ini. Di dalam mimpiku semalam, aku bertengkar hebat dengan Sakura. Lebih parahnya, ada darah berceceran di mana-mana, di tempat yang menjadi setting mimpiku itu. Betul-betul mengerikan.
Dua orang gadis yang dikenal sudah bersahabat, saling membunuh demi memperebutkan lelaki yang mereka cintai? Bisa jadi. Tapi apakah kami akan menjadi dua orang gadis itu, aku dan Sakura-chan?
Sakura-chan, gadis yang begitu kukagumi kecantikan dan kepintarannya, yatim-piatu yang tinggal serumah dengan Nachan yang sepupunya, apa dia akan membunuhku demi Manato? Apa dia akan bertindak sejauh itu setelah kemarin berubah jadi musuh yang mencoba menghalangiku?
“ACHAAAANNN…..!!!”Kaget. Aku tahu betul siapa yang barusan berteriak mengagetkanku itu. Aku langsung berlari menuju jendela dan mendapati Shoji dan sepedanya yang sudah siap berangkat di depan gerbang rumahku.
“Shojiro, tidak bisakah kau diam dan menunggu saja di sana tanpa berteriak seperti anak kecil?!” desisku sambil menunjukkan wajah termenakutkan yang kupunya padanya.
Cukup lama Shoji menatapku dengan sebal di atas sepedanya. Ia lalu nampak menarik napas dalam-dalam, kemudian berteriak nyaring.
“OI, OI ACHAN, SEGERALAH KELUAR DAN KITA BERANGKAT KE SEKOLAH..!!!”
Mendengarnya kembali berteriak bodoh seperti itu, aku langsung sigap melemparinya dengan sisir yang sejak tadi tak lepas dari tangan. Dan sisir itu tepat mengenai kepalanya menyisakan bunyi yang sangat kusukai. Rasakan itu, Shojiro bodoh!
“Ahh..kau itu hanya butuh waktu sebentar untuk berpakaian dan membuat kunciran tinggi di atas kepalamu itu. Kau sama sekali tidak sarapan tapi kenapa begitu lama seperti ini?!” Shoji berkata ketus sambil mengelus-elus kepala. Menatapku malas. “Aku benar-benar benci dengan anak gadis. Selalu lamban!”
Melihatnya seperti itu, jujur saja aku tidak merasa bersalah sedikitpun. Malah tawaku langsung meledak dan pastinya membuatnya semakin sebal. Ya, beginilah guratan kecil dari kisahku dan tetanggaku ini, Shoji Suzuki.
***
Bersambung ke Chapter 13
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayonara, Sky
Novela JuvenilPertemuanku dengannya cukup konyol. Saat sekolah sudah sepi, aku naik ke atap dan meneriakkan semua kekesalanku di sana. Tanpa sadar, pemuda itu juga ada di tempat yang sama dan mendengarkan semuanya. Selama enam bulan aku bersekolah di sana, belum...