Chapter 25

1 1 0
                                    

Aku tidak mau buru-buru mengartikan tatapan sendu itu dengan pemikiranku sendiri. Hingga Dokter Fukada menghampiriku dengan cepat dan langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku masih berusaha untuk tenang.

Namun kemudian malah isakan yang terdengar dan dekapan wanita itu makin erat. Berapa lama lagi aku bisa bertahan? Tubuhku kali ini terasa sangat lemas, kepalaku pun terasa sakit. Kupaksa membalikkan badan hingga pelukan wanita itu terlepas. Namun yang kutemui malah Obaa-san dengan wajahnya yang begitu sendu, langsung menyergap tubuhku. Kali ini, Ojii-san yang menitikkan air mata.

Haruskah kabar terburuk yang malah kudapat?
Tidak mungkin. Ini Singapura, yang setahuku ilmu medisnya terkenal baik. Mana mungkin mereka tidak mampu menangani kanker yang ada di tubuh Otou-san!

***

“Kita terlambat, padahal aku yakin ada sesuatu yang ingin Toshi sampaikan kepada kalian..”

Ah, kalimat yang diucapkan Dokter Fukada itu terus terngiang di telingaku. Sesal memang baru muncul setelah semuanya telah terjadi. Aku tidak akan bisa mendengar suara Otou-san lagi untuk selamanya.

Selama soushiki  berlangsung aku tidak mampu menahan emosi. Seringkali aku berteriak memanggilnya, merutuki diri sendiri seperti anak kecil. Rasanya seluruh air mata dan energi yang kupunya sudah terkuras habis.

Mungkin dosaku kepada Otou-san sudah terlalu banyak sehingga begitu sulit diri ini melepas kepergiannya. Ya, aku hanya seorang anak yang mengaku menyayanginya namun bodohnya tidak pernah mau menanyakan kabar beliau duluan.

“Achan, kau baik-baik saja?”

Kutolehkan kepala, rupanya Manato yang datang menghampiri. Entah sudah berapa lama aku melamun di tangga pojokan ini. Dan entah sudah berapa lama Nanae dan Shoji berdiri di kejauhan sana sambil memperhatikanku.

Aku hanya menjawab dengan anggukan pelan. Kutundukkan lagi kepala. Dan lagi-lagi wajah Otou-san yang muncul di pikiran ini.

“Apa kau sudah makan?” tanya Manato sambil kemudian duduk di sampingku.
Aku langsung menggeleng pelan. “Aku tidak lapar sama sekali,” jawabku serak. “Ah, aku lupa mengucapkan terima kasih atas kehadiranmu kemarin..”

Manato menggerakkan tangannya. Meraih tanganku. Sambil menggenggamnya erat, dia pun berujar pelan, “Sudah seharusnya aku datang untuk memberikan penghormatan pertama dan terakhirku untuknya. Aku menyesal harus berjumpa pertama di saat yang seperti itu..”

Mendengar kata-katanya itu, perlahan senyum terukir di wajahku. Aku membalas genggamannya dengan erat pula seperti tak mau lepas lagi.
“Otou-san pasti senang sekali bisa melihatmu dari alam sana. Beliau pasti sangat berterima kasih karena kau terus menyemangatiku saat itu..”

***

Hari-hari yang panas dan lembab pun berlalu, ditandai dengan mulai gugurnya daun dari pohon-pohon. Saat ini, Jepang semakin cantik dengan hiasan pohon yang daunnya bertransformasi menjadi warna merah, kuning, bahkan oranye. Inilah yang dinamakan kouyou atau lebih sering disebut sebagai momiji. Pemandangan ini bisa ditemui di berbagai tempat di Tokyo, bahkan di pinggiran jalan.

Seperti yang kunikmati sekarang. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Hamparan daun ginko dengan warna kuning yang cantik itu membuat kakiku langsung berlari ke arahnya. Tak sabar lagi untuk berbaring di atas mereka.

Begitu membaringkan tubuh di atas daun-daun ginko itu, aku langsung menggerakkan kedua tangan ke atas sambil berteriak girang. Rasanya aksiku ini pasti memalukan sekali. Terlalu kekanakan. Tapi seharusnya memang ini waktunya untuk bersenang-senang kan setelah semua kejadian menyedihkan terjadi?

“Aku senang melihatmu gembira seperti ini!”

Manato yang tadi kutinggalkan akhirnya menyembulkan wajah menatapku. Menutupi mentari yang sejak tadi berada di atasku. Sontak pemandangan yang tadinya sangat cerah mengilaukan langsung menggelap.

“Manato-kun, kau menutupi mataharinya!” pekikku sambil menggerakkan tangan. Mengisyaratkan agar Manato segera bergeser dari posisinya.

“Gomen!” seru Manato sambil menggeser tubuhnya, lalu ikut berbaring di sebelah kananku. Akhirnya kami berdua bisa menatap mentari yang indah di sana bersama-sama.
“Sunday is very beautiful today!!!” teriakku girang.

Mendengar teriakkan konyolku itu, Manato pun tertawa. Tangannya langsung bergerak dan menekan hidungku pelan.
“Kenapa tidak mengatakan begini, ‘that’s the most beautiful Sunday which I ever had’?” tanyanya sambil mendelik nakal ke arahku yang langsung kubalas dengan tatapan sebal.

“Baiklah, bahasa Inggrisku memang jelek karena aku anak kelas F!” cetusku yang kemudian membuang pandangan ke sebelah kiri dan mendengus marah.
Manato tertawa lagi, ditariknya rambutku dengan pelan hingga aku menoleh lagi ke arahnya.

“Baka, kau jelek sekali jika kau cemberut seperti itu. Aku benci melihatnya,” katanya meledek.
Aku langsung mengernyitkan alis. “Kalau begitu, berjanjilah kau tidak akan membuatku sebal dan marah lagi,” decisku sambil menyodorkan kelingking kanan ke depan matanya.

Lama ia menatapku sambil bibirnya bergerak kesana-kemari. Nampak berpikir. Lalu, kelingking kirinya pun menggamit pelan kelingking kananku.
“Aku, Manato Matsuzaka, berjanji tidak akan membuat Ayaka Matsuzaka sebal dan marah. Tapi aku akan membuat ia bahagia selamanya!” katanya sambil tersenyum lebar kemudian.

Menyadari tingkah konyol kami yang kekanakan ini, aku pun tertawa terbahak-bahak. Sambil melepaskan jarinya dariku, Manato pun ikut tertawa renyah.

“Baiklah, kau sudah berjanji. Tapi bukan untukku karena nama keluargaku Hirose, bukan Matsuzaka!” cetusku sambil memelototinya sekarang. “Seenaknya saja, kau pikir aku ini istrimu?” Kali ini aku memeletkan lidah.

***

Bersambung ke Chapter 26

Sayonara, SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang