Sejenak, aku terus memperhatikan semua sudut di wajahnya. Ada kalanya pemuda ini tampak sendu. Seperti sekarang. Tapi pemandangan ini sangat jarang terjadi. Apa ini karena ia sedih dengan pertengkaran kami?
“Apa iya, aku harus mengalah..?”
Tanpa sadar, aku malah meracau sendiri seperti itu. Perlahan-lahan mataku mulai sakit. Ah bukan, hatiku yang mulai terasa sakit. Dadaku juga terasa sesak sekarang. Belum lagi denyutan di kepalaku malah semakin parah. Aku hanya bisa menunduk. Menyembunyikan air mata dan isakanku saat ini.
“Hei, ada apa kau ini? Barusan kau bilang kalau kau ini gadis yang kuat, kenapa malah menangis seperti itu?” celoteh Shoji yang kini menatapku lagi. Ia pasti mau mulai menceramahiku lagi. Menyebalkan.
Cowok itu menggeser posisi duduknya lebih dekat ke arahku. Tangannya mulai bergerak dan meraih rambut panjangku yang terurai menutupi wajah. Digesernya rambut itu ke belakang kepalaku dan aku buru-buru menepis tangannya itu.
“Achan, aku tahu perasaanmu. Tapi kau harus berpikir lebih jernih. Jangan kekanakan seperti itu,” lanjut Shoji. Kali ini nada bicaranya sangat pelan.
“Kalau begitu, katakan padaku kenapa harus aku yang mengalah?!!”Aku.. Jauh di lubuk hatiku, aku tidak mau berteriak seperti itu di hadapannya. Karena itu akan menunjukkan kalau aku ini seorang yang egois. Tapi entahlah, kata-kata yang keluar dari mulut ini semakin tak bisa dikendalikan. Aku terlalu lelah.
Shoji menatapku lekat-lekat. Sorot matanya sudah tercampuri dengan kemarahan. Tentu saja teriakanku itu sudah menyulut emosi pemuda ini.
“Baiklah. Kalau kau tidak mau perselisihanmu dengan Nachan segera berakhir, lakukan sesukamu,” desisnya seraya berdiri menjauhiku, “aku tidak akan menghalangimu lagi. Lakukan apa yang kau anggap baik.”
Shoji memang benar. Selama aku berteman dengannya, ribuan kali kami pernah berselisih. Tapi di antara kami selalu ada yang mau mengalah. Baik aku atau dia, kami seringkali melupakan saja pertengkaran di antara kami. Tapi, kalau pertengkaranku dengan Nachan dan Sakura-chan kali ini, apa benar harus aku yang mengalah? Apa memang hanya aku yang kekanakan?
Aku tidak mau mengalah dan mengorbankan rasa cintaku pada Manato begitu saja!
***
Bintang-bintang mulai mempertontonkan keindahannya sekarang. Ah, rasanya sudah lama sekali tidak menyaksikan langit malam seindah ini dari depan rumah. Rasanya sepi sekali di dalam sana. Okaa-san lagi-lagi meninggalkanku sendirian. Karena itu aku berjalan keluar saja karena menurutku denyutan di kepala ini sudah mulai menghilang.Satu jam berlalu sejak kepulangan Shoji tadi. Rasanya sungguh menyebalkan mengingat tiba-tiba aku menangis di hadapannya. Dan harus berteriak begitu nyaring sampai membuatnya menatapku sinis seperti itu.
Tapi.. ah, sudahlah. Biar bagaimanapun aku senang karena nyatanya dia bertindak begitu karena menyayangiku. Aku tahu dia tak bermaksud menyakitiku. Tapi malah menasehati agar aku bisa lebih bijak. Hanya saja aku yang terlalu konyol sampai menangis dengan cengeng dan membuatnya kecewa.
“Achan, apa kau baik-baik saja?!”
Ada seorang cowok bersepeda yang sedang berdiri di depan pagar. Langsung saja kugerakkan kaki pelan untuk segera tahu siapa yang barusan tadi menyapaku. Sebentar, rasanya aku tahu itu suara siapa. Tapi, bagaimana mungkin?
“Manato-kun?!”Hah?! Bagaimana bisa dia berada di sini? Dari mana dia bisa tahu kalau ini rumahku? Lalu, apa yang membawanya sampai jauh-jauh ke sini di malam hari?
“Manato-kun, kenapa bisa ada di sini?!” tanyaku yang masih terkaget seraya membukakan pintu pagar untuknya.
“Kau yang sedang apa di luar rumah, padahal kau kan sedang sakit?”Semakin bingung saja rasanya. Bahkan seperti tersengat listrik begitu melihat senyumnya yang mengembang lebar padaku seraya merapatkan selimut yang kubawa dan kulingkarkan di tubuh ini. Kami-sama, kenapa dia tiba-tiba muncul di saat penampilanku sedang konyol seperti ini?! Dan, senyumnya itu begitu memukau!
“Eh, bagaimana bisa kau tahu aku sedang sakit? Lalu kenapa kau bisa tahu kalau rumahku di sini?!” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut ini.
Aku langsung terdiam ketika tangannya langsung bergerak dan mendorong tunjuknya ke dahiku. Aku terpana melihatnya kini tertawa renyah tepat di hadapanku. Dan matanya yang teduh itu tak lepas memperhatikan diri ini. Kami-sama!!
“Gadis bodoh, sekarang persilahkan aku masuk ke rumahmu dulu,” ucapnya pelan, “setelah kau buatkan secangkir teh hangat, barulah akan kuceritakan bagaimana bisa aku muncul di sini. Setuju?”
Lagi-lagi kata-kata yang keluar dari mulutku tak bisa kukendalikan. Baiklah, meskipun rasa bingung ini semakin bertambah, aku mengangguk saja agar membuatnya puas.
***
Akhirnya, dengan rasa bahagia sekaligus kaget dan bingung yang berkecamuk jadi satu di dalam dada. Yang membuat jantungku hampir meledak. Aku pun meletakkan sebuah cangkir di atas tatakannya lengkap dengan sebuah teko berisi teh hangat yang kubawa dengan nampan ke atas meja. Asap dari teh itu mengepul membuat suasana semakin terasa hangat.
Sejak tadi, mata ini takut-takut ketika harus bertautan dengannya yang sejak melihatku muncul dari balik pintu geser masih tetap tersenyum miring. Dia pasti tidak tahu bagaimana perasaanku akibat kemunculannya yang sangat mendadak ini.“Apa kau takut berdua saja denganku di ruangan ini?” tanyanya yang langsung membuatku bergidik kaget ketika baru saja duduk di hadapannya.
“Ah, tidak. Kenapa aku harus takut?!” sahutku yang buru-buru menggeleng kuat. Mulai menampilkan senyuman yang konyol. Sebenarnya aku tidak takut. Tepatnya, aku hanya tidak siap.
“Oh, baguslah kalau begitu,” ucap Manato sambil menuangkan sendiri tehnya ke dalam cangkir. “Padahal barusan aku berpikir kalau sebaiknya tadi aku mengajak seseorang ke sini. Otou-san. Tapi sayangnya aku memang tidak mau..”
“Nee.. Ayahmu maksudnya?!” pekikku nyaring. Begitu ia mendelik kaget, aku hanya menjawab dengan senyuman kecut.
“Baguslah. Nampaknya kau sudah sehat..”
Mendengar kata-kata itu, dadaku langsung berdebar-debar lagi. Malah bertambah kencang. Ada apa ini? Bisa kubayangkan sendiri ekspresiku kali ini, pasti nampak bodoh sekali. Jangan-jangan, pipiku yang mulai terasa panas ini sudah bersemu merah?“Lalu, katakanlah padaku apa yang kau janjikan tadi..” cetusku takut-takut sambil menunduk dan mulai menggigiti bibir bawahku.
***
Bersambung ke Chapter 17
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayonara, Sky
Teen FictionPertemuanku dengannya cukup konyol. Saat sekolah sudah sepi, aku naik ke atap dan meneriakkan semua kekesalanku di sana. Tanpa sadar, pemuda itu juga ada di tempat yang sama dan mendengarkan semuanya. Selama enam bulan aku bersekolah di sana, belum...