Ada selembar foto di buku itu. Dengan penasaran, aku pun mengeluarkan foto itu dari sana. Mataku membelalak. Kaget menemukan potret Okaa-san di tengah kedua orang lelaki yang nampak berwajah mirip itu.
Okaa-san tersenyum lebar nampak bahagia sekali. Senyum itu hampir kulupakan karena tidak pernah melihatnya lagi. Tapi di potret ini, dia bisa tersenyum tanpa beban. Apa karena pria di sisi kanannya itu?
Foto ini seperti menggambarkan sebuah keluarga kecil yang bahagia. Keluarga yang terdiri dari seorang ibu, ayah, dan seorang anak laki-laki yang telah tumbuh dewasa. Dan anak laki-laki itu adalah Manato.
Langit senja di atas sana, semakin kutatap semakin melukiskan kerisauan hati ini. Begitu pula ketika kulirikkan mata ke samping. Manato yang justru nampak tenang sambil bersiul pelan itu membuat perasaanku semakin kacau. Sebanyak apa rahasia yang kau sembunyikan dariku, Manato-kun?
“Manato-kun, coba lihat langitnya!” seruku sambil tersenyum palsu. Kulebarkan lagi senyumku ketika Manato melirik ke arahku. Pemuda itu menghentikan senyumnya.
“Cantik sekali ya? Tapi nampak seperti sedang menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya?” celotehku antusias begitu Manato mendongakkan kepala. Menatap langit.
Cowok itu mendengus pelan. “Kau sedang mengkhayalkan senja itu atau sedang berusaha menunjukkan perasaanmu sendiri?” tanyanya yang kemudian mencibir padaku.
Tepat sasaran! Tapi tentu saja aku tidak perlu mengiyakan. Maka kugelengkan saja kepala kuat-kuat.
“Manato-kun, senja selalu nampak bersedih ketika gelap akan segera datang. Karena itu berarti waktunya bersenang-senang sudah habis!” seruku girang.“Nee, kau memang pandai mendongeng. Imajinasimu tinggi sekali. Anak-anakmu nanti pasti senang mendengar dongengmu!” cetus Manato malas sambil mempercepat kayuhan sepedanya melewatiku. Aku pun langsung mengejar hingga posisi sepedaku sejajar dengannya.
“Manato-kun, aku ingin tahu di mana rumahmu!” teriakku sambil menatapnya. Lagi-lagi, aku tersenyum palsu. Kutatap lekat-lekat wajah pemuda itu. Mencoba mencari tahu apakah ia terganggu dengan keinginanku yang mungkin akan membongkar semua rahasianya.
Tapi tetap saja sulit ditebak. Manato menoleh sambil tersenyum pula. “Baiklah. Kau ikut aku ke rumah ya!” jawabnya nampak senang.
Hah! Bertolak-belakang dengan perkiraanku? Kupikir dia malah akan mengelak dengan berbagai alasan. Membuatku semakin bingung untuk memahami kebenaran di balik foto yang dimilikinya itu.
Manato, bukankah ayahmu adalah selingkuhan ibuku?
“Kau juga harus makan malam bersama Otou-san. Beliau sudah lama sangat ingin bertemu denganmu!”
Kini aku hanya bisa mengangguk keheranan. “Benarkah? Aku jadi ingin tahu sejauh apa hubungan pertemanan di antara kedua orangtua kita!” seruku yang masih memaksa untuk tersenyum palsu. Bingung.
Manato, akulah senja itu. Senja yang sedih karena takut waktu bersenang-senangnya akan segera habis. Aku takut kebersamaan denganmu akan berakhir.
***
“Tadaimaaa!”
Aku mengikuti Manato memasuki genkan rumah keluarga Matsuzaka yang modern namun bernuansa kayu. Manato mengeluarkan dua pasang sandal rumah dari getabako dan meletakkannya di dekat kakiku. Ia mulai memasangkan kakinya ke sandal.
“Kenapa diam saja? Ayo buka sepatumu!” serunya sambil tersenyum lebar. Tangannya mulai menepuk-nepuk bahuku.
Dengan gerakan kikuk, aku pun melepas sepatu. Menggantinya dengan sandal rumah. Selesai merapikan posisi sepatuku dan mengarahkan ujungnya ke arah pintu masuk , aku langsung menyusul Manato. Mengikutinya memasuki washitsu.
“Oh, kau sudah pulang?”
Seorang laki-laki sedang duduk dengan secangkir kopi di tangan. Aku langsung mengenali laki-laki itu. Dia pasti ayah Manato, orang yang potretnya ada di foto yang diam-diam kutemukan itu. Laki-laki itu nampak kaget melihatku. Aku jadi heran. Mengapa ekspresinya seperti itu padahal ini pertama kalinya kami bertemu?
“Otou-san, aku membawa Ayaka Hirose,” kata Manato sambil duduk di hadapan ayahnya itu.
“Achan, kenapa kau nampak kebingungan seperti itu? Ayo duduk!” serunya sambil menepuk-nepuk tatami di sisi kanannya.
Suara Manato itu mengacaukan pikiranku yang sudah terbang jauh. Aku terus memikirkan hal-hal negatif yang belum pasti kebenarannya. Ada keyakinan bahwa laki-laki inilah penyebab renggangnya hubungan rumah tangga kedua orangtuaku. Setahuku, ada banyak perjodohan yang berakhir bahagia, yang seharusnya terjadi juga antara Otou-san dan Okaa-san.
Akhirnya, aku pun membungkukkan badan. “Konbanwa, watashi wa Ayaka Hirose,” ucapku pelan. Kutatap lekat-lekat laki-laki yang mulai tersenyum sambil menganggukkan kepala itu.
“Konbanwa, Achan. Ayo lekas duduk!” seru laki-laki itu ramah.
Mencoba menyunggingkan senyum di bibir, lalu aku pun mendekati Manato dan duduk di sisi kanannya.
“Bagaimana, apa Okaa-san pernah menceritakan tentangku kepadamu?” tanya laki-laki itu sambil tersenyum padaku. “Kami sudah lama saling mengenal, jauh sebelum kau dilahirkan!”
Ah, sial. Saat ini aku sangat sulit untuk bersikap biasa. Jangan-jangan, nantinya kedua orang ini akan mencium rasa curigaku yang sudah meledak-ledak. Kami-sama, tolong bantu aku!
“Oi, kau ini kenapa? Otou-san sedang bicara denganmu!” cetus Manato sambil menepuk bahu kananku. Kemudian, kedua lelaki itu tertawa kecil.
“Gomennasai!” pekikku sambil menahan malu. Langsung saja kutundukkan kepala dan mulai menggigiti bibir bawahku. Ayaka Hirose, kau bodoh sekali! Lihat, ayah dan anak ini sedang menertawakanmu!
“Ah, baiklah, baiklah. Nampaknya kau sudah lapar. Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita bertiga!” seru Ayah Manato yang kemudian tertawa lagi. Kudongakkan kepala menatapnya, ia pun langsung tersenyum lebar padaku.
Sejenak, aku merasakan kehangatan yang sudah lama sekali tak kutemui. Bagaimanapun, sosok ayah yang tersenyum hangat seperti ini membawa kenangan tentang Otou-san yang telah tiada. Perlahan-lahan, aku bisa menemukan kenyamanan berada di sini.
Begitu pintu geser itu menutup, tinggallah aku dan Manato berdua di ruangan itu. Aku terus menunduk memikirkan rasa curiga yang mungkin kelewatan. Aku harus bisa menahannya.
***
Bersambung ke Chapter 30
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayonara, Sky
Novela JuvenilPertemuanku dengannya cukup konyol. Saat sekolah sudah sepi, aku naik ke atap dan meneriakkan semua kekesalanku di sana. Tanpa sadar, pemuda itu juga ada di tempat yang sama dan mendengarkan semuanya. Selama enam bulan aku bersekolah di sana, belum...