“Baiklah, kau sudah berjanji. Tapi bukan untukku karena nama keluargaku Hirose, bukan Matsuzaka!” cetusku sambil memelototinya sekarang. “Seenaknya saja, kau pikir aku ini istrimu?” Kali ini aku memeletkan lidah.
Mendengar kalimat yang meluncur lancar dari mulutku itu, tawa Manato semakin meledak.
“Oi, siapa bilang aku mau menjadikanmu yang bodoh ini sebagai istri? Baiklah, gomen, aku salah menyebutkan namamu, Ayaka Hirose!”“Heeee! Kau selalu mengataiku bodoh!” teriakku kesal.
“Hahaha. Kau marah karena batal dijadikan istri olehku?!” seru Manato yang membuatku langsung menoyor kepalanya dengan keras sampai cowok itu mengaduh setengah berteriak.“Manato-kun, aku lapar. Ayo traktir aku makan!” teriakku seraya bangkit dari hamparan daun ginko itu.
Manato pun menyusulku yang sudah berjalan cepat. Perutku mulai lapar. Kami pun berjalan berdampingan melewati pepohonan yang daunnya berjatuhan menuju pintu keluar Yoyogi Park.Di pintu keluar ini atraksi ‘elvis’ sedang digelar. Yang terkenal dengan julukan elvis ini adalah segerombolan orang bergaya rambut dan pakaian ala Elvis Presley. Mereka inilah yang biasa melakukan dance dengan diiringi lagu-lagu Elvis, John Travolta, dan lagu-lagu lain yang sejenis. Tentu saja pemandangan ini membuat kita merasa seperti sedang di era yang sudah lampau sekali.
Di taman ini juga ada atraksi lain yang semuanya non-band, seperti atraksi perkusi ala Afrika. Selain itu, ada orang yang melukis sambil menari, ada tap-dance, bahkan ada aksi anjing-anjing yang didandani dengan begitu modis melebihi style majikannya sendiri.
“Sepertinya pita dan kacamata hitam itu cocok di wajahmu,” bisik Manato sambil menunjuk anjing-anjing modis berkacamata hitam yang sedang berbaring santai di pinggir sana.
“Justru kau yang akan terlihat cantik mengenakan benda itu!” teriakku sambil menarik tangan kirinya. “Ayo bergegas, aku sangat lapar sampai tubuhku melemas!”“Baiklah, baiklah!”
Kami pun berjalan lagi dan akhirnya menemui sekitar sepuluh jejeran yatai. Mataku bergerak memperhatikan yatai-yatai itu. Ada yang menjual sosis bakar, ikan bakar, kebab, mie goreng, dan lain-lain. Akhirnya, kutarik tangan Manato kuat-kuat dan membawanya lari ke penjual sosis.
“Aku mau kau mentraktirku sepuluh sosis bakar!!”
***
Hari berganti hari. Kebahagiaan kemarin digantikan dengan kebahagiaan yang lebih lagi. Arigatou, Kami-sama. Kau berikan kesempatan untukku bisa berada sedekat ini dengan Manato.
Aku dan Manato semakin lama semakin akrab. Harapanku agar dia membalas rasa cintaku pun semakin kuat. Mungkinkah apa yang kurasakan terhadapnya ini bisa ia rasakan? Apa dia juga merasakan hal yang sama? Jika tidak, lalu apa yang dia rasakan?
Lalu kenapa dia sekarang lebih memilih untuk pergi dan pulang sekolah bersamaku? Kalau aku sendiri, tentu saja aku senang bisa bersamanya karena aku menyukainya. Dan teman-temanku pun rela membiarkanku hanya berdua dengannya seperti ini.
Kulirik Manato yang sedang bersiul di atas sepedanya di sampingku. Wajahnya tampak tenang dan teduh. Kubelokkan sedikit sepedaku hingga sangat dekat dengan sepedanya.
“Oi, Manato-kun,” desisku hati-hati, “apa yang sedang kau pikirkan?”
Manato menolehkan kepala. Ia menatapku dengan bingung. “Kenapa? Aku tidak sedang memikirkan apa-apa..”
“Lalu kenapa kau tidak menanyakan apa yang sedang kupikirkan?” tanyaku lagi sambil mendelik penuh curiga padanya. Ia nampak semakin bingung kali ini.
“Memangnya kenapa aku harus menanyakan hal itu?” cetusnya dengan tatapan mata penuh tanda tanya.
“Karena saat ini aku ingin tahu apa yang sedang kau pikirkan. Lantas apa kau tidak mau tahu apa yang sedang aku pikirkan?”Pemuda itu terdiam sebentar. Seperti sulit menangkap maksud dari omonganku barusan. Beberapa detik kemudian, dia pun tertawa pelan. Kepalanya kembali menghadap jalanan dan kakinya mengayuh sepeda meninggalkanku.
“Baka. Memangnya apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya dengan suara yang lumayan keras.
Aku pun mempercepat kaki ini mengayuh pedal sepedaku untuk berada di sampingnya lagi. “Kalau aku, aku sedang memikirkan dirimu!” jawabku sambil meliriknya.
Terlihat jelas, ia nampak tertegun sebentar. Lalu melirikku. “Kau memikirkanku?” tanyanya tanpa menoleh ke arahku.
“Ya benar. Aku selalu memikirkanmu setiap saat,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya pula. Kuarahkan mata lurus ke depan menatap jalanan yang ramai oleh teman-teman satu sekolahku yang juga ingin bergegas tiba di rumah.
“Saat sedang tidak bersamamu, aku membayangkan kau sedang melakukan apa. Lalu ketika aku berada di sampingmu, aku sibuk menebak apa yang sedang kau pikirkan..”
Aku mulai tersenyum sendiri. Teringat semua perasaan yang kupunya yang telah tercipta selama kehadiran Manato di hidupku. Meskipun dia tak mau menanggapi apa yang kukatakan padanya tadi, aku yakin dia mendengar semuanya dan akan mengerti.
“Semuanya berawal sejak pertama aku melihatmu di atap. Kau ingat tidak? Saat itu aku tidak tahu kalau kau ada di seberang. Aku sedang meluapkan kekesalan terhadap Okaa-san..”
Lagi-lagi, aku hanya tersenyum dan bahagia sendiri. Manato sama sekali tak mau menanggapi? Tidak mungkin kan dia tidak mengerti dengan maksud perkataanku itu? Apa mungkin dia tidak merasakan sesuatu yang spesial seperti yang kupunya ini?
Baiklah, aku sudah memikirkan semua ini sebelumnya. Aku siap menerima semua kenyataan. Jika memang dia hanya menganggapku sebagai teman, aku sudah sangat bersyukur bisa dijadikan teman hingga sejauh ini.
Tapi mungkinkah setelah sudah sejauh ini, tidak ada sesuatu yang istimewa? Jika diingat-ingat lagi, ada banyak hal yang membingungkanku.
Pengakuannya kalau dia telah memperhatikanku sejak kecil, lalu dia melindungi dan membelaku ketika aku bertengkar dengan Sakura? Aku harus tahu semua itu.“Manato-kun, daisuki da !”
Untuk pertama kalinya, detakan jantung ini memaksa bibirku untuk mengatakannya. Bahkan saat kuucapkan kalimat itu, dia sedang menatapku. Mata kami bertautan, saling mencari makna atas semua hal yang telah terjadi di antara kami. Dan sejenak, aku merasa memasuki dimensi yang berbeda dari biasanya.
***
Bersambung ke Chapter 27
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayonara, Sky
Teen FictionPertemuanku dengannya cukup konyol. Saat sekolah sudah sepi, aku naik ke atap dan meneriakkan semua kekesalanku di sana. Tanpa sadar, pemuda itu juga ada di tempat yang sama dan mendengarkan semuanya. Selama enam bulan aku bersekolah di sana, belum...