Chapter 15

1 1 0
                                    

Dengan pisau di tanganku, kutatap Sakura yang juga menatapku penuh kebencian dengan pakaiannya yang serba hitam. Warna hitam di bibirnya membuat gadis cantik itu nampak begitu seram.

“Lakukan apa yang mau kau lakukan!” teriaknya.

Perlahan, pandanganku jatuh pada pisau di tangan, lalu kembali menatap Sakura. Kemudian, langsung kugerakkan tanganku dengan cepat.

“ZRUUUTTTTT..!!!”

Ah, tidak bisa kupercaya. Bagaimana mungkin aku berani melakukan ini? Seranganku barusan di lehernya, bisa saja membuatnya meninggal dunia! Langsung saja, darah segar mengalir ke seluruh tubuh gadis itu. Apa yang kulakukan?

“Achan… Achan..”

Siapa lagi ini? Aku langsung menoleh ke sana-sini, kemana perginya semua orang tadi? Kemana perginya Manato? Kenapa mereka menghilang? Lalu siapa yang sedang memanggilku dengan cemas itu?

“Achan..”

Pandanganku kini tertuju pada seorang gadis dengan balutan gaun putih yang sedang berjalan pelan ke arahku. Bagaimana bisa? Kenapa Hotaru Yamada bisa muncul di hadapanku seperti ini, bukannya dia sudah mati?

“Achan, aku tahu kalau Manato juga mencintaimu sejak dulu..”

Hotaru tersenyum simpul. Lalu kedua tangannya digerakkan ke atas. Gadis itu maju perlahan, terus sampai merapat ke tubuhku. Tangannya yang berlumuran darah meraih wajahku, membuatku ketakutan.

“Achan, kalian bisa saling mencintai. Tapi itu tidak boleh..” desisnya lagi.

***

“Sudah bangun..?”

Mataku mengerjap pelan, tapi buru-buru menutup lagi ketika sebuah sinar menyilaukan langsung menerpa. Sampai kemudian terdengar suara gorden ditarik dan silau itu menghilang, barulah kubuka kedua mata lagi dengan pelan.

“Okaa-san?”

Kuraba pelan dahiku, ada lipatan kain basah menempel di sana. Ah, semuanya terasa panas. Tubuhku pun penuh dengan keringat. Aku mulai mengerti ketika mendapati dua tumpuk selimut tebal yang menutupi tubuh ini. Aku pasti sedang demam.

“Makanlah buburnya pelan-pelan dan habiskan susunya agar kau bisa masuk sekolah besok,” ucap Okaa-san dingin. Sambil melipat kedua tangan di dada, dia berdiri membelakangiku menghadap ke jendela.

Lama kupandangi punggung Okaa-san. Lalu mataku bergerak menatap jam dinding berbentuk kepala kucing di seberang sana. Benarkah aku tertidur sampai jam satu siang seperti ini?

Jika benar aku sudah tertidur selama itu, Okaa-san pasti sudah menyadari demamku sejak tadi pagi. Beliau biasanya terbangun ketika aku akan berangkat sekolah.

Menyadari adanya selimut yang membalut tubuh dan kain basah di dahiku, ini semua pasti kerjaan Okaa-san. Tak kusangka ini terjadi. Aku jarang sekali demam seperti ini, biasanya hanya batuk dan flu yang tidak berat.

Rasanya bahagia sekali kalau harus demam parah sampai tak bisa bangun pagi, jika nantinya Okaa-san akan memperhatikan dan membuatkanku bubur serta segelas susu seperti ini. Bagaimana pun, Okaa-san adalah seorang ibu. Ibu yang telah merawat dan membesarkanku, biarpun sikapnya pada selalu dingin bahkan kasar.

Bisa jadi, Okaa-san masih punya rasa sayang padaku yang terlahir dari pernikahan yang tidak diinginkan ini. Ah tidak, aku yakin Okaa-san memang menyayangiku, hanya saja tertutupi oleh sikapnya itu.

“Okaa-san, arigatou..” desisku pelan namun jelas terdengar.

Perlahan, punggung Okaa-san bergerak. Ya, dia pasti mendengar apa yang kuucap barusan. Pasti.
Sambil menahan rasa bahagia tak terkira, aku mulai bangkit dan duduk di ranjang dengan tangan kanan menahan kain basah di kepala. Sedetik kemudian, kuputuskan untuk meletakkan saja kain basah itu ke baskom berisi sedikit air hangat di meja samping.

Tanganku sudah tak sabar untuk segera menyergap bubur telur dalam mangkuk putih yang tergeletak manis di atas meja bersama segelas susu di sampingnya. Langsung kutiup pelan begitu mangkuknya telah berada di hadapanku.

Perlahan tanganku menyendokkan bubur itu ke mulut. Kucecap dengan bahagia yang menggebu-gebu. Wah, rasanya terakhir memakan bubur enak buatan Okaa-san ini ketika aku masih kelas 5 SD!

***

“Ah, bagaimana bisa Sakura yang lemah gemulai begitu mampu bertindak sebegitu kejamnya? Tidak mungkin!”
“Itu karna kau tidak pernah melihatnya. Di dalam mimpiku, dengan wajah seram dia berteriak keras lalu langsung menusukkan pisau yang begitu tajam tepat di jantung ini!”

Kali ini aku merasa sedang sehat-sehat saja begitu si bodoh Shoji Suzuki datang dan mengacau nikmatnya istirahat panjang ini. Padahal, baru saja aku mau kembali ke dunia mimpi. Tapi dibanding harus saling membunuh lagi dengan gadis yang sedang kami bicarakan…

“Lalu setelah kau mendapat tusukan darinya, apa kau meninggal?”

Kutatap wajah Shoji yang mulai mematutkan kedua alis lekat-lekat. Lalu setelah menarik napas panjang dan menghembuskannya lagi dengan kasar, aku pun mulai berujar dengan tampang seserius mungkin.

“Tentu saja tidak begitu ceritanya. Belum berakhir sampai di situ,” kataku sambil menggeleng-geleng kuat. Sementara tangan ini mulai bergerak ke mana-mana seperti seseorang yang sedang mendongeng.

“Karena aku ini gadis yang kuat, maka langsung kucabut pisau yang telah menancap itu tanpa rasa takut sedikit pun. Lalu, kupakai untuk menyerang lehernya sampai hampir putus!”

Setelah memelototkan kedua mata padaku, lantas Shoji malah tertawa terkekeh-kekeh. Ada apa dia ini? Apa ceritaku ini seperti lelucon baginya?

“Kalau begitu kalian berdua sama kejamnya!!” pekiknya sambil menoyor kepalaku. Yang langsung membuatku mundur hingga tubuh ini merapat ke dinding.

“Ya, karna itulah. Aku takut sesuatu benar-benar akan terjadi di dunia nyata! Ini sudah mimpi seram yang kedua kalinya!” kataku mati-matian meyakinkan Shoji untuk menanggapi ini sebagai sesuatu yang serius. Tapi, dia malah menyeringai layaknya sedang mengejek seperti yang biasa ia lakukan.

Shoji mendongakkan kepala. Melempar pandangan ke luar jendela lalu menghela napas berat. “Makanya sebelum hal yang lebih mengerikan dibanding permusuhan kalian ini terjadi, akhiri saja dengan baik. Kau mengalah sajalah..” ucapnya pelan tanpa menatapku.

***

Bersambung ke Chapter 16

Sayonara, SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang