Bab 17 - Lingerie

441 23 4
                                    

David melihat Stela yang baru selesai mandi dan tengah menyisir rambutnya. Tak ada rangkaian skincare berlapis-lapis yang Stela lakukan selain menggunakan beberapa tetes minyak Zaitun untuk melembapkan wajahnya. David terus memperhatikan wajah istrinya yang terlihat begitu lelah setelah seharian menemaninya bekerja, kena omel dan di kerjai hingga menunggu berjam-jam lamanya.

Stela tersenyum melihat David yang memandanginya. "Mas pasti capek, gak usah berbagi tempat tidur gapapa Mas. Aku tidur dibawah," ucap Stela lalu menyalakan lampu tidur dan menarik kasur lipat dari bawah tempat tidur David.

"Stel..." David mengurungkan niatnya untuk mengajak Stela bicara.

Stela yang semula tiduran dibawah sambil memunggunginya merubah posisinya agar bisa menghadap pada David. Namun begitu Stela menatapnya David malah langsung memunggunginya. Stela tak bereaksi apapun, ia langsung terlelap begitu saja. Stela sudah terlalu lelah dengan aktivitasnya hari ini.

David kembali merubah posisinya melihat Stela yang terlelap bahkan sampai mendengkur pelan dibawah. Wajahnya terlihat begitu tenang dan rileks, rambutnya yang digerai menggoda David untuk mengelusnya. David merasa sedikit menyesal setelah seharian ini terus menerus memarahi Stela, terlebih saat ia melihat telapak tangan Stela yang luka karena menahan tubuhnya yang terjatuh tadi di lokasi syuting. Stela yang malang.

Kling! Notifikasi pesan dari oprator seluler masuk ke ponsel Stela. David terdiam sejenak, ada rasa penasaran dan ingin sekali untuk menggeledah isi ponsel Stela. Terlebih karena tadi di lokasi Stela cukup dekat dengan Anca yang membuat David begitu penasaran, ditambah Stela juga pulang diantar Anca yang membuat David semakin penasaran dan menaruh curiga.

Namun saat David meraih ponsel Stela ia hanya melihat nama-nama tetangganya di kontak nomor yang Stela simpan, riwayat panggilannya juga hanya dengan Maminya, juga keluarga Stela dan dokter juga rumah sakit. Jadi David memilih langsung meletakkan ponsel Stela dan berhenti menaruh curiga pada istrinya itu. Meskipun ia masih gatal dan ingin mengecek tiap pesan yang dikirim juga galeri foto milik Stela. Namun David memilih mengurungkan niatannya karena takut Stela akan tau dan terbangun sewaktu-waktu.

***

"Besok aku bakal temenin kamu kok, aku udah ambil cuti buat 2 hari kedepan," ucap Hasan sambil menelusupkan tangannya masuk kedalam lingerie yang di gunakan Anca.

Anca hanya diam lalu tersenyum simpul.

"Lihat kamu cantik sekali," puji Hasan sambil mengelus perut dan pinggang Anca penuh penghayatan.

Anca menatap pantulan tubuhnya dicermin. Menatap rambut palsu yang ia gunakan, memandang lingerie sexy yang harusnya digunakan wanita yang malah ia kenakan. Anca merasa ada yang salah pada dirinya saat ini. Bukan hanya pada orientasinya saja, namun pada apa yang ia lakukan hingga jadi sejauh ini.

"Kamu sebenernya suka sama aku enggak Yang?" tanya Anca dengan suaranya yang lembut bak perawan.

"Gak cuma sayang, aku cinta sama kamu," ucap Hasan sambil berusaha meraih dagu Anca untuk melumat bibir bergincunya.

"Kalo kamu sayang, cinta aku kenapa aku harus berubah? Kenapa aku harus oprasi?" tanya Anca lalu menyingkirkan tangan Hasan yang menggerayanginya sambil melepaskan rambut palsu yang ia kenakan.

Hasan menghela nafasnya lalu tersenyum mencoba memaklumi Anca yang jadi labil setelah tau betapa sakitnya jalan untuk menjadi wanita seutuhnya. "Kita yang menginginkan ini..." rayu Hasan sambil meraih pinggang Anca dan memangkunya di tempat tidur. "Kita sepakat sama ini semua, kamu hanya sedang takut, sedang ragu karena rasanya sakit," lanjut Hasan lalu tersenyum dan mengecup kening Anca.

Anca memejamkan matanya lalu menggelengkan kepalanya pelan. Anca memang dari dulu cukup feminin, suaranya juga cukup lembut dan cocok jika ia tengah mencoba mengeluarkan suara perempuan, tubuh Anca juga tidak besar dengan otot yang bertonjolan. Tapi bukan berarti Anca ingin berubah dan menyalahi kodratnya lebih jauh lagi.

Hasan meraba pantat Anca lalu menamparnya pelan hingga Anca memekik, meskipu pekikannya sudah coba ia tahan. Anca menundukkan pandangannya. Kejantanan Hasan dua kali lipat jauh lebih besar daripada miliknya, namun bukan berarti Anca benci pada kejantanannya sendiri.

Jujur Anca menikmati tubuhnya sebagaimana mestinya. Bila transpuan lainnya tak suka melihat kejantanannya dan selalu berusaha menyembunyikannya, Anca tidak begitu. Anca selalu menyadari jika dirinya seorang laki-laki, hanya saja ia kurang maskulin. Anca tak keberatan dengan apa yang ada di tubuhnya sama sekali.

"Nanti kamu bakal punya vagina kayak yang sudah kita pikirkan sebelumnya, kita bisa pergi ke Thailand. Aku udah gak sabar buat kasih kamu identitas yang baru," ucap Hasan lalu mengecup pipi Anca dengan begitu mesra.

Anca masih tertunduk dalam diam. Ia tak yakin pilihannya menjadi wanita adalah hal yang baik dan sudah benar. Anca meremang ketika Hasan tiba-tiba meraba dadanya dan memaikan putingnya yang sekarang begitu menonjol sejak ia mengkonsumsi pil KB dan suntik hormon.

"Kalo aku gak usah oprasi menurutmu gimana?" tanya Anca dengan memelas menatap Hasan.

"Apa kamu udah gak cinta aku?" tanya Hasan yang langsung memasang wajah kecewa.

Anca terdiam sejenak. "Aku cinta kamu, tapi aku gak mau kalo harus oprasi. Aku suka tubuhku. Aku suka penisku, aku hanya lebih banyak tertarik pada laki-laki daripada perempuan. Tapi bukan berarti aku mau jadi perempuan," ucap Anca mencoba menjelaskan kondisi dan perasaannya pada Hasan.

"Ucapanmu itu terdengar seperti omong kosong, kita sudah sejauh ini. Kita sudah melewati banyak hal bersama! Liat ini! Laki-laki mana yang punya pakaian perempuan sebanyak ini!" ucap Hasan dengan nada suara yang tinggi sambil membuka lemari pakaian Anca.

Tak berhenti disitu, Hasan menarik Anca lalu memaksanya berdiri menatap pantulan tubuhnya di cermin. "Pria mana yang sudi memakai lingerie dan lipstik?!" bentak Hasan lagi.

Anca tersentak, airmatanya sudah menggenang dan siap jatuh. Anca memejamkan matanya seiring airmatanya yang sudah tak bisa ia bendung lagi. Anca teringat betapa lembut dan perhatiannya Hasan dulu. Mereka selalu bersama, melewati segala kesulitan di kampus, mencari pekerjaan, sampai mereka ada di titik saat ini.

"Sayangku, Cintaku, kamu hanya sedang labil, kamu takut melewati apa yang sudah kita rencanakan, apa yang kamu inginkan..." ucap Hasan kembali melembut sambil mendekap erat tubuh Anca yang bergetar dan tengah menangis itu.

Anca menggelengkan kepalanya. "Aku gak mau itu semua Hasan, aku gak mau!" ucap Anca lalu meluruh ke lantai sambil menangis tersedu-sedu.

"Lalu apa maumu? Kamu gak mau menikah sama aku? Menikah, memiliki anak, bersama selamanya..."

Anca makin menangis mendengar cercaan Hasan yang terasa begitu menyayat hatinya.

"Aku sudah membuktikan cintaku ke kamu, sekarang giliranmu..." ucap Hasan membujuk Anca terus menerus.

"Apa? Apa bukti cintamu?" tanya Anca sambil menatap mata Hasan dengan matanya yang masih berkaca-kaca.

"A-aku menolak semua perempuan yang dijodohkan Jidah padaku, aku menolak semua perempuan yang disodorkan padaku, aku memilihmu...a-aku mementingkan hubungan kita daripada keluargaku! A-ak-aku melawan keluargaku, aku melawan seluruh dunia untuk cinta kita. Itu pengorbananku," jawab Hasan sedikit gelagapan mencoba mencari keuggulannya dibanding Anca.

"Aku juga melakukan itu!" bentak Anca. "Aku pergi dari rumahku, aku meninggalkan ibuku, satu-satunya keluarga yang aku punya demi kamu. Aku meminum tiap butir pil KB dan suntik hormon yang begitu menyakitkan! Fisikku berubah, penisku tidak bisa bangun lagi karena itu! Kamu pengen anak, aku juga. Aku pengen anakku juga, anak yang lahir dengan DNAku, aku berkorban lebih banyak dari yang kamu kira!" cerca Anca memberontak.

Hasan tertawa pelan seolah menghina apa yang Anca ucapkan. "Jadi kamu mulai menghitung semuanya sekarang, oke aku juga akan menghitung apa yang sudah ku berikan ke kamu!"

Anca langsung melepaskan lingerienya dan melemparkannya pada Hasan. "Jangan cuma kamu hitung! Kamu ambil semua yang menurutmu kamu kasih ke aku juga gak masalah!" tantang Anca.

Hasan mengusap wajahnya lalu beranjak dari hadapan Anca, Hasan mengambil kopernya dan mulai mengepak barang-barangnya bersiap pergi meninggalkan Anca sendirian disana. Anca juga hanya diam sambil menangis dan tak terlihat sedikitpun keinginan untuk menahan Hasan atau meminta maaf setelah perseteruannya barusan.

****

bersambung, jangan lupa vote + komen. 

tembus 10 vote dan 5 komen "Next" baru lanjut.

The AktorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang