Bagian 2

204 47 0
                                    

Matahari tidak begitu kuat memancarkan sinar untuk sore. Pasangan Dita dan Seokjin berjalan berdampingan meninggalkan bambeo. Dia membuka pintu kemudi untuk Dita dan bertukar beberapa patah kata sebelum berpisah.

"Aku akan melihatmu dua hari lagi di Biro." Kata dita menatap Seokjin yang berdiri di balik pintu mobil.

Seokjin terkejut. Bukankah ini terlalu cepat? Dan tidakkah dia kehilangan harga dirinya, sekarang. Eoh ayolah! Dia seorang pria dengan satu anak tetapi keputusan benar-benar diambil oleh Dita?

"Apakah ada keberatan?"

"Tidak! Tidak! Aku akan menemui di Biro. Untuk waktu, Bisakah kau memberi tahu ku melalui pesan? Bagaimana-pun aku harus membicarakannya dengan putraku juga ibu."

Dita mengerucutkan bibirnya, dan dua jarinya mengusap dagu, berpikir. "Tidak masalah. Selama tidak keluar dari dua hari yang aku tentukan, kau bisa menentukan waktunya."

Apa perbedaanya? Kau hanya memberiku pilihan untuk waktu, bukan hari.

"Dua hari adalah hari kerja, aku bebas hanya pukul lima sore. Itu tidak mungkin untuk dilakukan." ujar Seokjin memberitahukan padatnya dia bekerja.

"Ambil cuti."

"Apa maksudmu dengan mengambil cuti? Aku hanya karyawan yang baru saja diterima, terlalu lancang untuk menuntut hak cuti di awal, jika kau ingin tahu." Mereka baru saja bertemu tetapi Dita sudah menunjukan banyak tuntutan. Bahkan untuk keputusan, wanita ini lebih dominan.

Eoh mereka hanya akan menikah beberapa hari lagi tetapi Dita sudah mengatur segalanya?

"Aku akan berbicara dengan atasanmu. Dia tidak akan memiliki nyali untuk menahan mu."Ujar Dita sebelum menutup jendela mobil.

Udara panas dari mesin mobil berhembus ke wajahnya. Jejak debu seperti gambar pada drama di televisi. Seokjin berdiri mengernyitkan dahinya.

Apakah benar keputusan yang sudah di ambilnya? Dita gadis jenis Alfa. Begitu mendominasi. Bagaimana dengan putranya di masa mendatang?  Bisakah Dita dan putranya berdamai? Karena sesungguhnya, dia secara pribadi tidak akan mampu untuk memilih diantara keduanya.

Dering ponsel berbunyi. Seokjin mengambil benda pipih dari dalam saku celana. Layar menunjukan nama penatua Kim (kakeknya)

" ya, kek.. Aku sudah bertemu dengannya. Dan sudah diputuskan."

"..............."

"Kakek... Tidakkah menurutmu pernikahan ini terlalu tergesa-gesa? Dia ingin pernikahan dilakukan dua hari lagi."

".................."

"Eoh ayolah! Kami baru saja bertemu. Seharusnya ada pendalaman tentang masing-masing. Tetapi dia benar-benar......."

"...................."

"Aku tidak mundur! Hanya saja ini terlalu cepat."

"................."

"Ya! Aku akan berbicara dengan putraku."
.
.
.
.
.

Seokjin kembali ke apartemen kecilnya di malam hari, sekitar pukul delapan dan Haowen, Pria kecil nya tengah duduk di atas bangku belajar.

"Little Hao, ayah pulang..!!!" Seru Seokjin, sembari menenteng kantung plastik berisi makanan panas.

Haowen masih belum memberi Seokjin perhatian, dia terus menenggelamkan kepalanya pada materi pada buku.

Seokjin mengusap puncak kepalanya dengan lembut dan ia mendaratkan satu kecupan disana. Pria kecil Haowen seolah tidak perduli, pandangannya tidak bergeser sedikitpun dari sana.

Ini bukan kali pertama putranya menolak, lebih tepatnya, Haowen memiliki kehidupannya sendiri. Sejak kecil Haowen sudah sangat pendiam, bahkan tidak sedikit orang menyebutnya sebagai autis. Jika hal itu datang dari orang lain, mungkin dia tidak akan perduli tetapi penghakiman itu datang dari keluarga yang dianggap dekat dengannya. Choi Minho, juga anak dan istrinya, mereka selalu menganggap putra Seokjin sebagai aib. Menyiksanya tanpa ampun, mengucilkan anak kecil dan menjadikannya bahan lelucon.

Jika ayahnya dapat bersikap sedikit lebih lunak, mungkin dia (Seokjin) masih mempertimbangkan untuk bertahan, tetapi pria yang selalu dihormati olehnya benar-benar menggertak cucu biologis mereka sendiri.

Sekarang Haowen menjadi lebih kritis kepercayaan kepada siapapun bahkan kepadanya. Hubungan antara Seokjin dan Haowen sangat canggung.

"Haowen, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu...." Seokjin menghentikan kata-kata. Dia menunggu agar Haowen mau memberinya perhatian. Tetapi pria Hao benar-benar mengabaikan nya.

Seokjin menghela nafasnya panjang. Ada rasa putra asa dari tindakannya. Dia pribadi tidak tau apa yang haru dilakukan untuk memperbaiki hubungan mereka. Sekali lagi, Seokjin menghela nafas panjang. Dia mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu putranya. "Aku akan menikahi seseorang." ujarnya berhati-hati.

Kegiatan Haowen terhenti. Tangan kecilnya bergetar lemah. Seokjin menangkap hal itu, dan dia merasa bersalah. Tangan Seokjin terulur, ia menggenggam tangan kecil Haowen, berusaha menenangkannya. "Tenanglah dulu. Biarkan aku menjelaskannya padamu."

Haowen menatap Seokjin dengan ragu-ragu. Wajah kecil Haowen tidak lepas dari rasa ketakutan. "Ini adalah pernikahan yang telah di atur oleh kakek Kim mu. Kakek Kim yang sangat peduli padamu. Kau, percaya padanya, bukan?" tanya Seokjin sangat berhati-hati.

Mata Haowen berkedip-kedip. "Kakek kim." kata Haowen menganggukkan kepalanya.

"Ya, ini kakek Kim yang mengatur seorang ibu untuk mu." ada jeda dari ucapannya, untuk memastikan reaksi seperti apa yang akan diberikan oleh Haowen putranya. "Bagaimana, apa kau keberatan?"

Bagaimana-pun pendapat Haowen adalah yang terpenting. Sejak kelahirannya, Hidup Seokjin tidak hanya tentang dirinya sendiri, tetapi juga anak yang dia miliki. Dia tidak ingin jika suatu saat, kehidupan rumah tangganya berantakan hanya karena putra juga istrinya bertengkar atau istrinya memiliki keluhan tentang Haowen. Lebih baik untuk membatalkan pernikahan sejak awal daripada mengorbankan putranya sendiri. Haowen cukup menderita selama ini. Dia selalu dikucilkan di lingkungan sosial karena sikapnya yang acuh. Tidak sedikit dari mereka menyebut Haowen sebagai anak cacat. Jika, Dita bisa menerima hal ini atau tidak keberatan dengan kondisi putranya, dia (Seokjin) tidak akan ragu untuk menikahinya.

"Katakan saja apa pendapatmu tentang pernikahanku. jika kau merasa ragu, Ayo kita bertemu dengan calon ibumu terlebih dulu. Aku sudah bertemu dengannya siang ini dan menurutku, dia tidak buruk sama sekali. Dia tidak keberatan dengan adanya kau di hidupku. Dan kita bisa tetap tinggal seperti ini. Tidak berubah hanya kau dan aku." lanjut Seokjin menjelaskan pada putranya dengan perlahan dan hati-hati.

Haowen menganggukkan kepalanya masih dengan perasaan ragu. Namun, itu adalah keputusan kakek Kim, kakek yang memperlakukannya dengan baik. Dia tidak ingin kakek kim kecewa, dan berakhir dengan membencinya.

Sudut bibir Seokjin tertarik lembut. Dia tidak berpikir bahwa Haowen akan setuju secepat itu tanpa adanya drama.

Sekarang dia hanya perlu mengatur pertemuan untuk mereka bertiga. Dan berusaha agar tidak mengecewakan Haowen lebih jauh.

"Itu bagus. Ayo kita bertemu dengan ibumu besok." putus Seokjin sedikit lebih bersemangat.

Haowen di akhir lima tahun, sekarang. Selama itu dia tidak pernah memiliki kasih sayang seorang ibu. Meskipun dia sendiri sedikit ragu bahwa Dita akan bisa memenuhi kekosongan Haowen tetapi setidaknya saat berada di kelas, Haowen dapat dengan percaya diri menyebutkan tentang sosok ibunya.

pampering my little husbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang