Naka sengaja membuka pintu kosnya lebar-lebar, meski sudah hampir tengah malam. Ia membentangkan gambar-gambar yang sebelumnya ia buat untuk seminar proposal. Laptop pinjaman dari laboratorium juga sudah menyala dengan banyak tab yang dibuka. Bagian taskbar-nya juga sudah dipenuhi oleh beberapa aplikasi yang dibuka bersamaan. Laki-laki berambut gondrong itu berani jamin, kalau laptopnya yang sudah pensiun pasti akan nge-lag jika dipaksa bekerja seperti ini.
Kamar sempit itu tambah ramai karena Naka memutar lagu JKT48 keras-keras. Tanpa sadar, ia jadi merindukan Iqbal. Laki-laki berambut terikat itu sedang mencoret-coret buku catatannya dengan serius.
"Oy." Kepala Wisnu nongol di pintu. Hanya kepala, tanpa badan. Wajahnya semringah dengan tatapan yang mencurigakan.
"Bangsat!" Naka hampir terkena serangan jantung karenanya. "Tengah malam, ini, Sat! Jangan muncul tiba-tiba gitu!"
Wisnu tertawa puas, tetapi sebagai laki-laki bermartabat, ia tidak tertawa kencang. Tawanya hampir tanpa suara. "Cailah, udah balik jadi setelan mahasiswa, nih, ceritanya?"
Naka bangkit dari duduknya. Kebangkitannya diiringi suara mengerang dan beberapa bunyi dari tulang yang membuatnya terlihat seperti kakek-kakek jompo. Naka melakukan peregangan, sambil bertanya, "Kenapa?"
Kini Wisnu berpindah ke depan pintu kamar nomor 6 itu dengan wajah serius. "Sakit nggak dijewer Ilham?"
Naka menghela napas panjang sebelum melemparkan pena yang ada di tangannya. "Ya, menurut lo aja!"
Wisnu berhasil menghindar dengan gerakan cepat. Saking lamanya berteman, ia bahkan sudah tahu ke mana Naka akan melempar penanya. Ia memungut pena tersebut, kemudian tersenyum tipis. "Ada yang bisa dibantu nggak?"
"Kalo bantuan uang, sori-sori, nih, ya. Uang gue lagi banyak." Naka mengangkat dagunya dan tersenyum penuh kesombongan.
"Pantes, ya, lo beliin anak-anak es krim." Laki-laki bermata sipit itu duduk memalang di pintu. "Denger-denger, lo udah beliin kado buat Ayu, ya?"
Naka yang sudah kembali duduk ke tempatnya, langsung tersenyum malu. "Duh Uci, kok bilang-bilang."
Wisnu langsung menggeleng. "Kok jadi Uci? Tadi siang lo pamit mau cari kado katanya."
Ingatan tentang kejadian siang tadi membuat wajah Naka langsung berubah suram. Bahu yang tadinya tegap, berubah lesu. Ia kembali mengambil penanya dan sok sibuk mencoret buku catatan yang sudah penuh dengan coretan. Ternyata, keliling bundaran HI tidak mampu membuat ingatannya hilang sementara.
Wisnu menghela napas dan tidak melanjutkan tanyanya. Namun, hening yang tercipta itu hanya sementara karena Ilham muncul sambil membawa dua gelas berisi cairan putih yang menyeruakkan bau jahe. Sudah bisa dipastikan, kakak tertua itu pasti membuatkan susu jahe untuk Naka dan Wisnu. Hal itu sudah menjadi kebiasaan sejak mereka tinggal bersama. Ilham selalu doyan membuat susu jahe ketika adiknya belajar dan kopi ketika mereka akan begadang.
Laki-laki yang mengenakan celana panjang dan kaus lengan panjang itu langsung berdecak. "Astagfirullah, Nayaka!"
"Aguy, Ham! Dateng-dateng marah, tuh, gimana ceritanya?
Ilham menggeleng dan segera menyerahkan dua gelas yang ada di tangannya ke Wisnu. "Dari tadi gue ke atas, pintu kamar lo udah kebuka. Nggak takut masuk angin? Sampe tengah malem gini masih aja lo pake singlet sama bokser doraemon itu?"
Naka otomatis melihat ke bokser legendarisnya.
Tawa Wisnu akhirnya pecah juga. Kini ia tidak lagi menahan tawanya. "Perasaan udah gue suruh buang itu bokser keramat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuncen Kosan
Ficção GeralMau diantar jemput, tapi nggak punya ayang? Mau diantar makan siang waktu istirahat? Mau diangkatin galon ke lantai atas? Mau perbaiki saluran air, listrik, kipas angin, AC, mesin cuci? Tidak perlu gundah ataupun risau. Semua masalah Anda bisa seles...