20. Pertemuan Singkat

37 4 8
                                    

Naka beruntung karena hari ini ia mengurai rambut gondrongnya. Entah mengapa, begitu tiba di mal ia tidak berniat mengikat rambutnya seperti biasa. Laki-laki yang mengenakan jaket hitam itu hanya menyibak rambut dengan gerakan cepat hingga membuat beberapa bagian rambutnya membentuk lapisan gelombang. Ia membiarkan dahi dan sebagian matanya tertutup rambut ketika berkeliling di toko pernak-pernik. 

Kalau saja Naka mengikat rambut, mungkin wanita itu akan mengenalinya. Mungkin saja laki-laki berambut gondrong itu akan mendapat hadiah pelukan atau malah wanita yang harusnya ia panggil Mama itu akan melakukan hal yang sama sepertinya. Melarikan diri atau bahkan lebih buruk dari itu. Untungnya Naka berhasil tersadar dan melarikan diri lebih dulu. 

Setelah berhasil berpindah ke toilet, Naka menatap pantulan wajahnya di cermin dan mengumpat dalam hati dengan berbagai macam kata umpatan yang pernah ia dengar. Bahkan umpatan di kepalanya tumpang tidih saking banyaknya. 

"Bisa-bisanya lo malah kabur?" Naka menyeringai sambil menatap dirinya sendiri. Kemudian ia mengikat rambut kuat-kuat, berharap hal itu bisa mengalihkan rasa sakit di dadanya. "Bego lo, Ka!"

Setelah mengucapkan kalimat untuk dirinya sendiri, mata Naka memerah dan mulai berkaca-kaca. Air matanya meluncur tanpa izin. Awalnya hanya tetesan serupa gerimis yang hanya datang perlahan. Laki-laki yang tengah menatap pantulan wajahnya itu, langsung mengusap wajah dengan kasar. Berusaha menghentikan aliran air mata yang malah semakin deras ketika ia berusaha untuk berhenti. 

Meski tidak ada orang di sana, Naka tetap menahan umpatannya agar tidak keluar. Melihat dirinya tidak bisa mengendalikan emosi yang bergejolak tak karuan, akhirnya Naka memilih masuk ke salah satu bilik toilet dan menangis tanpa suara di sana. Setelah beberapa saat, laki-laki berambut terikat itu berhasil menenangkan diri. Ia sempat menatap pantulan dirinya sendiri sebelum pergi meninggalkan toilet tersebut. Satu-satunya hal yang harus ia lakukan adalah mengelilingi bundaran HI setidaknya tujuh kali untuk mengembalikan kewarasannya yang baru saja terguncang. 

***

Naka baru tiba di indekos ketika ia mendengar suara tidak lazim dari lantai atas. Laki-laki bermata sembab itu buru-buru berlari ke lantai atas. Ia tidak peduli pada pintu pagar yang terbanting, juga mengabaikan tatapan terkejut pujaan hatinya yang kebetulan berada di dekat pagar. 

Begitu tiba di atas, ia melihat Uci terduduk di lantai. Namun, tatapan adiknya itu malah tertuju pada sosok yang beberapa hari lalu juga sudah membuat Naka kewalahan karena tingkahnya di kampus. Naka kira adiknya itu sudah baik-baik saja, tetapi kelihatannya tidak sama sekali, bahkan kali ini lebih parah dari sebelumnya. 

"Astaga!" Tanpa pikir panjang, Naka langsung berusaha menghentikan Nanang yang tengah berusaha menyakiti dirinya sendiri. 

"Stop! Nang! Nanang!" Terpaksa Naka harus melakukan kuncian pada leher adiknya itu. Meski sering mengunci leher Nanang, ia tidak pernah sungguh-sungguh melakukannya. Namun, keadaan saat ini memaksanya melakukan kuncian itu sekuat tenaga demi menenangkan adik kesayangannya yang sudah seperti orang yang kesurupan. 

Usaha Naka tidak begitu mampu menahan Nanang yang sedang kalut. Kunciannya lepas hanya dengan sekali hentakan, akhirnya Naka tidak punya pilihan lain. Ia melayangkan tinju yang berhasil menjatuhkan Nanang, kemudian ia terpaksa melayangkan satu tinju lagi hanya untuk menenangkan adiknya itu. 

Pukulan kedua itu berhasil membobol pertahanan Naka. Air matanya malah meluncur tanpa izin. Tidak pernah terpikirkan olehnya kalau ia bisa meninju Nanang yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Meski sering bertengkar, tidak ada yang bisa menyangkal kalau Naka dan Nanang memiliki ikatan mereka sendiri. 

Setelah membentak Nanang dengan suara yang juga bergetar, Naka meraih adiknya itu dalam pelukan. Pelukan yang sebenarnya juga ia butuhkan. Nanang pasti melalui hari yang lebih berat darinya. Adiknya itu juga pasti mendapatkan luka yang mungkin lebih parah dari miliknya. 

Naka mengantar Nanang turun setelah laki-laki bertubuh kekar itu tenang, tetapi setelah itu, ia kembali ke atas hanya untuk duduk dan menghirup udara yang tidak segar-segar amat. Laki-laki berambut gondrong terikat itu sengaja tinggal di atas lebih lama. 

"Mas Naka nggak apa-apa?" 

Naka memegang dadanya karena terkejut. Ia sampai harus mengatur napas karena Ayu tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia tidak menduga kalau akan disambut Ayu tepat di ujung tangga. 

"Nggak apa-apa, geh. Nih, masih utuh. Nanang, tuh, yang kenapa-napa." Naka sok jaga image dengan senyum cerah sambil menunjuk kamar Nanang.

Gadis berambut panjang itu menggeleng dan mendekat, kemudian ia meraih tangan Naka. "Katanya, Mas Naka abis nonjok Mas Nanang, ya? Tangannya nggak apa-apa?"

Wajah Naka langsung dirambati panas begitu tangan Ayu menyentuh tangannya. Bukannya mengkhawatirkan Nanang yang bonyok, Ayu malah lebih khawatir pada Naka. Laki-laki berjaket denim itu mengerjap beberapa kali, kemudian kembali tersenyum. "Nggak apa-apa." 

Ayu, gadis manis yang penuh kelembutan itu berdecak. "Ini luka. Tadi kata Mba Uci, Mas Naka juga sempet nonjok tembok."

Naka sampai shock sendiri. Selama mengenal Ayu, ia tidak pernah melihat gadis itu berdecak dengan wajah marah seperti itu. Namun, menurut Naka, anak gadis Bu Endang itu tetap menggemaskan. "Nggak apa-apa."

Ayu kembali berdecak dan menyeret Naka ke ruang tamu. "Mas Naka tunggu sini, aku ambil obat dulu."

Ada hangat yang mengalir di dada Naka. Kehangatan yang sangat ia butuhkan. Seseorang memperhatikannya dengan begitu tulus, tanpa tuntut balas. 

"Aguy!" Naka berteriak ketika Ayu mengoleskan obat merah cina. Teriakan itu disusul dengan gerakan menggeliat, kemudian laki-laki berwajah preman itu buru-buru menarik tangan seolah-olah Ayu baru saja melakukan hal tidak pantas padanya.

Gadis bermata cokelat muda itu langsung memelotot. "Mas, nggak usah berlebihan."

"Anah, Yu. Pedih banget." Naka meringis, berusaha menahan teriakan yang bisa membuatnya malu setengah mati.

"Makanya, jangan nonjok tembok. Lagian kenapa, sih, sampe nonjok tembok, Mas? Apa nonjok Mas Nanang aja nggak cukup?"

Naka terdiam. Ia hanya menghela napas dan bersandar di kursi yang didudukinya. 

"Aku udah denger cerita dari Mbak Uci, tapi aku belom denger cerita dari Mas Naka."

Laki-laki berambut gondrong itu melepas ikatan rambutnya, kemudian kembali menghela napas dan memejamkan mata. "Ceritanya sama aja."

Ayu membuang cutton bud yang digunakan untuk mengoleskan obat. Ia juga sempat menghela napas sebelum kembali duduk di samping Naka. "Mas Naka nggak mau cerita, ya?"

Naka diam, tidak menjawab bahkan tidak bergerak dari tempatnya. Ia sengaja menghindari Ayu untuk sementara. Terlalu banyak emosi yang bercampur, sampai-sampai Naka kewalahan karenanya. 

 "Aku nunggu Mas Naka karena mau denger cerita. Mas Naka pasti abis nangis, ya, sebelum pulang? Ada masalah sama Yoyo atau kenapa?"

Naka menduga kalau tatapan Ayu pasti tengah terkunci pada wajahnya yang tengah ia tahan mati-matian supaya tidak bergerak dan membuat adegan pura-pura tidurnya terbongkar sia-sia. Akhir-akhir ini terlalu banyak masalah yang ia hadapi. Memang, masalah UKT sudah selesai, tetapi begitu masalah itu selesai, masalah lain malah datang secara borongan.

"Aku tahu, Mas Naka nggak tidur." Ayu beranjak dari duduknya. "Ini, obatnya jangan lupa dipakai."

Naka langsung menghela napas lega begitu mendengar suara gerbang tertutup. Ia membuka mata dan berniat beranjak dari duduknya. Namun, sebelum ia beranjak, tangan Wisnu sudah lebih dulu menahannya. 

"Lo apain Ayu?"

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bentukan Bang Naka pas ke mal

Kuncen KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang