Part 8 - Finally

17.6K 927 10
                                    

"Aku mau mengajukan keberatan atas perintah Pop padaku tempo hari." Ucapku dengan tangan Ken yang masih melingkari pinggangku dan sesekali mengecup bahu dan leherku.

Jangan berprasangka apapun ketika melihatku dan Kenneth yang terbaring di ranjang dengan tangan Ken yang memelukku posesif. Tidak, kita belum melakukan apapun tentang proses membuat bayi walau kejadian tadi hampir menyerempet kalau tangan Ken tidak ku halangi saat akan melepas bra ku.

Make out tadi itu sangat WOW! Hampir saja...

Dan tetap, perasaan bersalah itu masih ada saat Ken menggeram dan langsung berjalan cepat untuk menyiram tubuhnya dengan air dingin. Dan kini, karena mandi air dingin itu menjadikan hal ini sebagai sebuah alasan untuk tetap memelukku selama satu jam ini.

"Syarat yang mana?" tanya Ken dengan masih tetap mengendus bau tubuhku. "Kau memakai strawberry, Meg? Biasanya Green Tea."

"Habis, dan aku masih belum membelinya lagi. Dan jangan mengalihkan pembicaraan!" aku mencubit tangannya. "Aku tetap akan mengajukan keberatan pada Pop karena dulu dia membebaskanku untuk menuntut cerai setelah satu tahun pernikahan."

Eh!

Tubuhnya mendadak kaku dan kegiatannya mengendus tubuhku otomatis terhenti. Ya Tuhan, kapan mulutku bisa di ajak kerja sama dan tidak menambah masalah lagi? Rencana perceraian ini kan masih dalam wacana antara aku dan Pop? Ken bahkan masih menganggap urusan perceraian ini hanya akal-akalanku saja. Karena satu-satunya hal yang Ken tahu adalah, aku harus memberinya satu anak baru setelah itu dia akan membebaskanku memilih untuk tetap tinggal atau pergi. Tapi pertanyaannya, apa aku sanggup meninggalkan Ken setelah aku memberinya satu anak? Dan karena aku masih waras sekaligus masih mempunyai hati, maka jawabanku adalah tidak! Dan tidak juga untuk setuju memberinya satu anak. Karena bagiku, anak adalah satu-satunya alasan untuk mempertahankan sebuah hubungan.

"Ken, aku..."

"Teruskan." Kali ini suaranya dingin. Sangat dingin, dan berhasil membuatku menggigil ketakutan. Dekapannya di pinggangku pun tidak seerat tadi, dan entah kenapa aku merasa sedikit kehilangan.

Tidak, tidak. Aku harus menghentikan ini. Semakin aku membiarkan mulut ini berbicara, semakin parah pula aku menyulut api emosinya. Dan melihat Ken marah ada di opsi terakhirku sekarang.

"Lebih baik kita tidur."

"Lanjutkan omonganmu yang tadi, Meg. Aku siap mendengarkan."

"Tidak. Dan aku memilih tidur."

"Kenapa? Toh kau sudah menyakiti egoku kan? Kenapa tidak di teruskan? Sama saja kan pada akhirnya?"

Aku melepaskan pelukannya dan memilih beranjak dari ranjang. Menyingkir mungkin pilihan terbaik.

"Kemana?" suara itu, masih dingin walau ada rasa khawatir terselip disana.

"Tidur."

"Disini kamar kita."

"Di sofa."

"Selalu memilih pergi dan tidak mau menyelesaikan sebuah masalah, Meg?" ucapnya yang kini entah kenapa terdengar sangat menusuk.

Aku berbalik dan menatapnya –yang kini terduduk- lelah. "Kita sama-sama emosi Ken. Dan lebih baik aku menyingkir untuk membuat emosimu turun. Setelah itu kita bisa bicarakan ini lagi."

"Apa bedanya mengatakan ini sekarang atau nanti?" Ken menatapku lurus tepat di manik mataku. "Toh hasilnya akan sama. Sama-sama menyakiti nilai dari sebuah pernikahan dan ketidak percayaanmu tentang perasaanku."

"Perasaan apa yang kita bicarakan disini? Cinta?" tanyaku dengan nada yang sungguh terdengar memuakkan. "Lalu kau pikir aku akan percaya begitu saja saat kau bilang 'Meg, aku melakukan ini karena aku jatuh cinta padamu'? Oh, come on, Ken! Kita baru bertemu satu bulan ini, lalu kau kira perasaan itu bisa tumbuh sebegitu cepatnya?! Bullshit!"

001. Passing ByTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang