Aku terduduk di atas ranjang dengan dahi yang masih mengernyit dalam dan memandang pintu kamar mandi, dimana Kenneth sedang berdiri dan mengeringkan rambutnya yang basah. Ada berpuluh-puluh list bahkan beratus pertanyaan yang harus aku lontarkan di depan wajah tampannya.
Tampan? Aku menghela napas frustasi, karena memang, untung mengalihkan pandangan dari mata hijaunya yang bisa menenggelamkan aku kapan saja –aku tahu ini menjijikan- butuh tenaga dan kekuatan hati yang ekstra! Belum lagi Kenneth selalu menatapku lurus-lurus, tepat di manik mataku. Kalau ada yang bisa memberitahuku bagaimana menghindari pesonanya, please! Katakan padaku.
"Aku tampan?" kekehnya saat melihatku yang masih duduk dan menatapnya. Tapi apa dia tidak bisa melihat dengan jelas kernyitan tajam di dahiku? Dan tidak ada tatapan memuja yang dihiasi dengan kernyitan di dahinya!
Well, dia tampan, memang. Tapi ini bukan saatnya untuk mengagumi keindahan sosoknya.
Kenneth meletakkan handuknya di keranjang pakaian kotor dan berjalan berjalan mendekatiku. Dan sangat terpaksa aku harus tidur dalam satu kamar dengannya karena kami baru menikah! Iya, aku berhasil dipaksa menikah oleh Pop. Sial.
"Jadi?" tanyanya sembari menaikkan satu alisnya. Tatapan mesumnya, ya Tuhan!
"Apa?"
"Hm? Menurutmu?"
"Ya, apa?!" tanyaku gusar.
"Kau tidak memakai lingerie?
Eh? APA! Lingerie? Aku mencibirnya saat derai tawanya terdengar renyah di telinga. Ya Tuhan, kenapa tertawa bisa terdengar semerdu itu? Ini pasti salah satu contoh ketidak adilan Tuhan! Titik.
"Tenang, aku tidak akan memaksamu." Kenneth memposisikan dirinya supaya lebih nyaman dalam duduk dengan menekuk kedua kakinya, berhadapan denganku.
"Aku akan menjawab segala pertanyaanmu. Ayo. Kita masih punya banyak waktu." Kenneth menatapku jenaka yang masih saja menatapnya dengan pandangan menyelidik. Dan entah kenapa aku masih tidak bisa menatap tajam pada siapapun, sekalipun aku marah. Dan hal ini yang membuat orang-orang disekitarku tidak pernah takut saat aku marah.
Iya, double shits!
Aku menghela nafas sebal. "Okay, Kenneth Bryden Lincoln. Kenapa kau membatalkan pernikahanmu sebelumnya?"
"Karena dia bukan 'the one'." Ucapnya enteng sembari mengendikkan bahunya tidak peduli. Oh ayolah, tidak ada semburat kecewa atau sedih di wajahnya karena calon istrinya melarikan diri darinya! Iya, aku tahu, toh dia dan keluarganya tidak malu karena akhirnya pernikahannya tidak benar-benar batal karena the shinning armor Megan Hope Collin muncul sebagai penyelamatnya.
Ya Tuhan, aku harus masuk dalam satu barisan dengan Spiderman, Cat Woman atau Superman karena berhasil menyelamatkan nama baik keluarga Lincoln.
"Lalu kau kira aku 'the one'?" ucapku tanpa menyembunyikan nada sinis.
"Kau berharap seperti itu?" ucapnya dengan senyum geli yang sukses membuatku ingin melempar lampu tidur di atas nakas.
Aku mendengus sebal. "Dan kenapa kau memilihku bukan Jessica atau Haley? Hell man, mereka jauh lebih mau menerima kehadiran seorang suami daripada aku sendiri. Dua puluh lima tahun dan menikah? Itu mimpi buruk untukku."
"Lalu?" dia melipat kedua tangannya dan menatapku penuh minat. "Jadi di umur berapa kau ingin menikah?"
"Tiga puluh lima? Atau mungkin tidak usah menikah?" aku mengendikkan bahuku tidak peduli. "Karena sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan komitmen apapun. Itu semua hanya membuang waktu."
"Shit! Jangan bilang kau tidak pernah berkencan!" ucapnya disela-sela tawanya.
Aku menegakkan punggungku dan mendongakkan kepalaku. Dituduh tidak pernah berkencan dan masih perawan di usia dua puluh lima tahun bukan hal yang memalukan untukku. Bahkan ini sebagai kebanggaan untukku karena berhasil menjaga apa yang seharusnya aku beri untuk sang 'the one'.
"Lalu? Alasanmu?" aku kembali mengarahkan ke topik utama.
"Karena aku sudah mengenalmu, Meg. Kita berteman saat berumur lima tahun."
Oh tidak lagi dengan alasan itu! Aku memutar mataku jengah. Oh ayolah, alasan 'pernah berteman saat berumur lima tahun jelas bukan alasan yang bisa mendasari dalam memilih calon istri kan? Gila!
"Kenneth..."
"Ken. Dulu kau selalu memanggilku Ken atau Kennie." Ucapnya ringan sembari tersenyum manis.
Aku kembali mengernyit. Wow! Dia bahkan ingat panggilan itu? Apa aku disini yang terkena amnesia?
"Okay, Ken. Itu alasan yang tidak masuk akal, okay? Walau Pop, Jessica dan Haley juga mengatakan hal yang sama padaku. Tapi... bisa tidak kau memberikan satu saja alasan yang masuk akal untukku?"
"Because you're 'the one'." Ucapnya sembari menatapku lurus-lurus dan dengan raut wajah yang serius. Sial! Kenapa jantungku jadi bekerja ekstra seperti ini? Aku tahu ada kemungkinan gejala depresi pada makhluk yang duduk di depanku, tapi please kenapa depresinya harus terkena virus romantis seperti ini?
"Anggap saja kau memang jodoh yang di turunkan Tuhan untukku, bagaimana?" tawarnya enteng seakan-akan pernikahan bukan hal yang penting untukku.
Yah, walaupun untukku juga. Tapi...
Aku menghela napas lagi. Bukan berarti aku tidak menyukai komitmen lalu menyingkirkan kesakralan sebuah pernikahan. Tidak sama sekali. Aku tetap seperti wanita kebanyakan yang hanya ingin menikah satu kali dan itu bertahan seumur hidup. Tapi kalau untuk saat ini, aku sanksi bisa mendapatkan impianku itu. Karena tahun depan aku harus menuntut cerai!
Aku memilih mengangkat tangan dan berbaring di atas ranjang –mengabaikan tatapan gelinya yang mengarah tepat padaku.
"Tidak boleh melampaui batas ini, paham?!" aku menempatkan satu guling di tengah-tengah ranjang king size super empukku. Sebenarnya aku ingin mendepaknya dan menyuruhnya tidur di sofa atau kalau perlu aku akan menyewa satu kamar lagi untuknya, tapi Pop sudah mengacamku kalau sampai malam ini aku mengusir Kenneth, tidak aka nada lagi jabatan Manager HRD untukku. Sial!
Kenneth hanya terkekeh geli dan tertidur di sisi lain ranjang. "Selamat malam, istriku."
Hah?! Astaga! Ternyata aku benar-benar sudah menjadi seorang istri!
Sial!
-o0o-
Sudah berapa kali aku sampaikan kalau kita tidak memerlukan drama 'pengantin harmonis' karena semua keluarga sudah tahu kenapa akhirnya aku menikah dengan Ken. Dan sudah berapa kali aku mencubit pinggangnya tapi tetap saja Ken tidak berjengit sedikitpun atau melepas pelukan tangannya di pinggangku saat ia sedang berbicara dengan Pop.
Oh! Dan dia memanggil Pop dengan sebutan 'Pop'. Aku tahu persis kalau Pop hanya mengijinkan aku, Jessica dan Haley yang memanggilnya begitu. Tidak ada satupun sepupu kami yang memanggilnya 'Pop'. Tapi bagaimana bisa dia mengijinkan Ken memanggilnya begitu?
"Kau harus jaga kelakuan bar-bar mu, Meg." Ucap Pop sembari menatap lurus pada tanganku yang masih mencubit pinggang Ken. "Dan berhenti menganiaya suamimu, Meg!"
Aku mendengus sebal dan menghentikan kegiatan tanganku. Ken hanya terkekeh geli sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "It's okay, Pop." Ucapnya tenang. "Aku harus bisa menerima segala sisi buruknya, kan?"
Aku melirik sebal. aku bahkan tidak keberatan dia menuntut bercerai dengan alasan 'terlalu sering mencubit pinggang sampai biru' sekalipun masa pernikahan kami belum sampai dua puluh empat jam.
"Dan saat kalian bulan madu, ingat Meg, Pop tidak mau mendengar kelakuan seenakmu. Paham?!"
Aku mengangguk dan melirik sebal ke arahnya. Bukannya tadi, sebelum kita turun ke lobi hotel untuk mengucapkan selamat tinggal, aku sudah bilang padanya kalau kita tidak perlu bermain drama dan bisa bersikap biasa saja? Dan bukannya tadi dia menyetujuinya? Tapi kenapa sekarang seperti ini?!
Ken membukakan pintu mobil dan mempersilahkan aku masuk. Oh sikapnya sungguh manis! Tapi kita lihat saja, sampai kapan sikap manisnya bisa bertahan!
-o0o-
KAMU SEDANG MEMBACA
001. Passing By
ChickLitIni perjodohan plus pemaksaan saat Megan di hadapkan dengan kenyataan kalau dia harus menikahi cucu dari sahabat kakeknya dengan alasan balas budi. Saat sederet rencana sudah ia susun agar perceraian bisa dilaksanakan secepatnya, tidak disangka-sang...