09

26 8 0
                                    

Halaman ini milik Edith, Miguel dan kabar putusnya.
.
.
.
.
Happy reading
.
.
.
.

"Hati-hati kamu! Jangan bengong terus jangan lupa makan."

"Iya kak iya, udah? ada lagi?"

Eden melihat-lihat kembali tas adiknya apakah ada yang tertinggal, setelah merasa sudah ia kembali memeluk adiknya itu. Sambil berbisik pelan, "Jangan lupa bilang ke mamah, aku sayang dia." Edith mengangguk jelas menepuk pundak sang kakak.

Perpisahan itu pun harus kembali terjadi diakhiri dengan kecupan pada dahi dan pipi lalu lambaian yang mengudara bersama angin seiring kereta itu pergi meninggalkan stasiunnya.

Ini bukan kali awal pertama mereka berpisah, ini adalah perpisahan kecil mereka yang ke sekian kali. Tapi rasa kesepian yang menyerang setelahnya tetap sama sakitnya seperti saat pertama kali.

Edith mendapat bangku di dekat jendela, tempat kesukaannya dalam perjalan jauh kemanapun. Kali ini rupanya waktu belum memberi kesempatan temunya untuk membawa si sulung kembali ke rumah. Seperti kecewa-kecewa kecil lainnya yang tidak bisa ia ungkap karena memang Edith tidak mampu memaksa sang kakak untuk pulang. Edith hanya bisa berharap akan hal itu.

Namun setidaknya gadis remaja ini tidak akan khawatir dengan siapa kakaknya bersama. Dan percaya sepenuhnya kepada Eden yang bisa mengatasi dirinya. Kembali pulang sendiri hanyalah akan menemukan sepi di ujung kamarnya.

Lima menit... Sepuluh menit... Selang beberapa menit mencoba untuk terlelap di perjalanan ternyata tidak bisa. Bahkan meskipun musik-musik tenang mengalun indah di relung telinganya tetap tidak membawanya ke alam mimpi.

Matanya menyelusuri setiap jangkauan matanya memandang, para pengunjung yang berbeda. Usia yang berbeda, pakaian, bagaimana cara mereka menikmati perjalanan. Matanya mencoba merekam jelas keramaian ini sebelum kamar sepinya menjadi pemandangannya untuk bulan-bulan ke depan.

These dumb conversations
They raise my affections
Those were the good times
And I miss the old times

Have I told you lately?
That I miss you badly?

Sometimes I wish
That I could still call you mine
Still call you mine
Now all I've got is
The stain on my blue jeans
The only way I could
Remember that you were once mine

Alunan indah yang menari masuk melalui relung dan hinggap di hatinya ini menjadi isi pikirannya selama beberapa waktu. Kadang memang selalu ada hal-hal yang sebenarnya itu milik kita, tapi waktu menjauhkannya membuat kita berjarak.

.
.
.
.

Selang menempuh beberapa jam lamanya perjalanan, Edith sampai di rumah dan mulai melakukan tugasnya seperti biasa. Mencuci pakaian kotornya, sepatu dan tas-tas kotornya.

"Gimana kabar dia?" Edith yang baru saja selesai mandi dan ingin mengeringkan rambutnya lantas berhenti ketika suara tegas itu sampai ke telinganya.

"Baik, sehat, ga ada masalah."

"Iya tapi lupa kalau masih punya orangtua."

Ucapan itu menusuk ke hati padahal bukan ditujukan untuknya tapi tetap menghancurkan hatinya karena itu tentang orang yang ia sayangi.

"Kakek ngomong apa? Kak Eden ya sayang sama kita semua. Dia cuma sibuk sama sekolahnya."

"Ya dia muak kan lihat muka kakek disini?"

Edith menutup mulutnya, melayangkan tatapan sendu bermaksud agar kakeknya mengakhiri perkataan-perkataan tajamnya. "Itu kan cuma pikiran kakek."

Dan Edith tidak akan pernah lelah membela kakaknya.

Tiga Turu Sengklek (TTS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang