five

67 10 0
                                    


"Erlangga."

Aku memanggilnya masih dengan tangan yang sibuk menulis dan mata menatap buku. Dia tidak langsung merespon, dari ujung mataku aku bisa melihatnya memainkan pulpen di jari namun tidak berniat sekalipun untuk menulis. Buku tulisnya pun putih bersih, setitik tinta saja tidak ada.

Sehabis kena semprot Bu Mawar, dia tidak berani tidur lagi.

Melihatnya tidak ada tanda-tanda untuk menyahutku, aku menaruh penaku dan meletakkannya di meja, berbalik menghadap Erlangga sepenuhnya.

"Erlangga, tipe-x gue mana ya?"

Dia sama sekali tidak melirikku, tapi tubuhnya bergerak untuk mencari tipe-x ku yang tadi dia pinjam tanpa ijin hanya untuk dibuat mainan.

Selagi menunggunya mencari tipe-x ku yang sepertinya hilang sebab aku tau dia sudah mengobrak abrik mejanya yang sebenarnya tidak ada barangnya hanya untuk mencari benda berwarna merah tersebut. Aku meliriknya kesal. Bukannya aku pelit, tapi tipe-x ku hanya satu. Masalahnya aku tidak bisa dengan santai meminjam pada murid lain yang mana aku saja tidak kenal. Aku tipe orang yang lebih memilih diam jika tidak kenal, kecuali orang itu mengajakku berbicara duluan.

Yah, aku bisa mengajak orang berbicara dulu. Namun hanya di beberapa situasi tertentu yang memang mengharuskanku begitu.

Jadi sambil menahan dongkol, aku memilih melampiaskan rasa kesalku dengan mencoret kata salah tulis di bukuku. Persetan dengan tipe-x dan Erlangga.

Lalu setelah beberapa saat, sebuah tangan terulur beserta tipe-x merah mencolok yang aku kenali sebagai milikku. Tanpa membuang waktu, aku mengambil tipe-x ku dengan gerakan merampas.

Tapi Erlangga sialan ini menarik tangannya lagi.

Aku menoleh dengan raut tidak terima. "Mana?" pintaku dengan nada menuntut.

Erlangga menatapku datar, mulutnya setia diam.

Aku ingin membalikkan kata-katanya yang, 'lo nggak bisa ngomong?' menggunakan nada tidak kalah songong, tapi tidak. Aku masih ingin hidup tenang.

Aku beraninya memang di pikiran saja.

"Mana tipe-x gue?" ulangku.

"Minta yang bener."

Hah?! Aku melongo sejadi-jadinya. Dia nggak waras ya? Wah, aku curiga dia cuma mau mengerjaiku saja. Memang dasar licik.

"Tapi itu kan punya gue!" seruku tidak bisa menahan rasa kesalku lagi.

"Minta yang bener."

"Lo tadi pinjem juga nggak ngomong-ngomong. Seenaknya main ambil aja?!"

"Minta yang bener."

"Erlangga, gue—"

"Minta. Yang. Bener."

"Dasar set—"

—tan.

Aku kontan mengatupkan mulut.

Erlangga menyipitkan mata. Tangannya bersidekap di dada. "Apa?"

"Nggak."

"Lo mau ngumpatin gue kan? Lanjutin." Katanya sakastik, tampak mengejek. Lalu tambahnya, "Itu pun kalau berani."

Kok makin kesini dia makin nyebelin sih?!

"Nyelulu." Aku membalas super nyolot. "Siniin tipe-x gueeee!!!"

"Minta yang bener. Yang sopan."

"Erlangga!"

"Yang rame di belakang!"

the star, falling.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang