six

61 10 0
                                    

"Aw!"

Aku mengaduh kesakitan seraya memegang dahiku bersamaan dengan buku yang terjatuh. Akibat menarik buku terlalu brutal, buku disebelah juga ikut jatuh lalu menimpa kepalaku. Ini karena buku yang aku incar berada di rak paling tinggi, dan aku kesusahan mengambilnya. Bermodal dari menjijit dan meraba-raba, aku tanpa pikir panjang menarik buku tersebut kelewat keras.

Beginilah akhirnya. Aku meminta maaf tanpa suara pada pengunjung perpustakaan lain yang terdistrak karena kegaduhan yang aku sebabkan. Sambil mengaduh lirih dan mengusap kening, aku mengembalikan buku lain yang ikut jatuh ke rak untuk lagi lagi dibuat mengeluh, menatap rak paling atas tempat buku yang aku jatuhkan dengan perasaan dongkol.

Buat apa sekolah membuat rak-rak ini begitu tinggi? Bahkan hampir menyentuh atap dinding. Aku bahkan sebenarnya tidak pendek-pendek amat, tinggiku 163 cm. Namun aku tetap saja kesusahan.

Meskipun begitu aku berhasil menaruh buku tadi walau dengan mengeluarkan usaha lebih.

Aku kembali ke meja, duduk, membuka buku yang aku pilih untuk aku baca siang ini, lalu membaca dengan khidmat. Setelah beberapa menit, ekspresiku berubah serius lantaran adegan yang aku baca memasuki tahap menegangkan.

Mataku bergulir dari baris ke baris mengikuti tulisan yang aku baca.

"... Ia seperti berada di perbatasan antara menyanyi dan mau muntah. Bebunyian ini semakin mencekam sekaligus indah. Suara Nai Gomgom perlahan kawin dengan musik. Gerung dan geramnya berupa melodius. Pertanda roh leluhur mulai ikut bergondang(1)—"

SUMPAH APA LAGI SIH?

SIAPA YANG MENIMPUKKU DENGAN BUKU?!

Aku menutup paksa bukuku di tengah serunya-serunya adegan dan menoleh ke samping dengan perasaan kesal yang tidak bisa di tahan. "Maaf, ini kenapa ya gue ditimpuk bu—"

"Sori sori! Gue tadi ambil buku nggak nyampe terus nggak sengaja jatuhin buku yang lain—Namira?!"

Huh? Entah kenapa aku ikut bingung. Mungkin aku juga kaget ada orang diluar teman kelas yang mengenaliku. Aku menatap sosok yang menangaiku dengan ekspresi kelewat kaget seolah memang sengaja dibuat begitu.

Perempuan ini mengenalku?

"...iya." Jawabku ragu-ragu. "Siapa ya—"

"Selena." Belum selesai aku bertanya, perempuan ini mengulurkan tangannya padaku. Dia tersenyum. "Kita satu kelas di bimbingan."

Lambat laun aku mulai ingat.

"Ah iya." Aku balik menjabat tangannya, tersenyum kikuk. "Namira."

"Salam kenal, ya."

Tanpa pernah aku pikirkan, Selena berjalan memutari bangku kemudian duduk di depanku.

Aku ulangi. Selena duduk tepat di depanku.

Aku mengingatnya sebagai orang yang merebut meja Erlangga kala itu. Di tangannya terdapat buku yang terlihat sama sekali tidak berniat Selena itu buka.

Aku bergerak gelisah dalam dudukku. Sungguh, konsentrasiku buyar menyadari kehadirannya tiba-tiba disini. Sementara menurutku juga aneh jika lanjut membaca dan membiarkannya duduk diam sendiri. Sebab meskipun ada buku di tangannya, alih-alih membaca yang Selena lakukan adalah memutar-mutar buku tersebut di meja.

Dia pikir buku itu gasing apa?

"Namira."

Selena tiba-tiba memanggil. Aku cukup terkejut hingga langsung menegakkan tubuh. "Ya?"

"Lo temennya Angga?"

Aku menyerngit. "Angga siapa ya?"

"Erlangga," terangnya. "Erlangga Adhyaksa. Sepupunya Radian. Yang ganteng."

the star, falling.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang