twelve

55 5 4
                                    


"Tadi kenapa Nadia nyamperin lo?"

Sambil berjalan beriringan menuju kamar mandi, aku melirik Sonya. "Lo tau gue tadi ngobrol sama Nadia?"

"Nengok bentar doang." Sonya membalas. "Gue denger dari dalam kelas lo lagi ngobrol sama orang. Gue intip dari jendela, ternyata sama Nadia."

"Oh." Aku mengangguk. "Dia ngembaliin hape gue. Ketinggalan tadi waktu olahraga."

"Kok bisa ketinggalan?" Sonya mengernyit.

Aku mengedikkan bahu. "Nggak tau. Nggak kerasa juga. Bisa jadi jatuh dari kantong. Atau mungkin emang ketinggalan. Tapi kalau ketinggalan kayaknya enggak soalnya gue inget nggak ngeluarin hape sama sekali waktu olahraga tadi."

"Ih, pikun." Sonya mencibir. Aku tertawa kecil. "Jangan ceroboh, Na. Hape lo abis jatuh juga kan sampai pecah gitu. Nggak mau lo servis?"

Yang Sonya tau ponselku pecah karena terjatuh waktu memasak. Sonya tidak tau penyebab sebenarnya ponselku bisa pecah begini karena cerita yang aku ceritakan padanya adalah dusta belaka. Aku merasa bersalah berbohong pada Sonya. Namun aku tidak mungkin menceritakan apa yang terjadi sebenarnya tanpa menceritakan Riko. Waktu dia menyelamatkan ponselku. Bercabang ke belakang—kala aku nyaris menabraknya pula.

Untuk urusan ini, biar aku simpan sendiri.

Aku menggeleng. "Nggak perlu. Lagipula masih berfungsi normal kok. Cuma layarnya aja keliatan parah emang. Tapi dalamnya nggak papa, nggak ada yang rusak."

"Gue ngeri-ngeri sedep liatnya." Sonya bergidik. "Hape berapa juta itu lo pecahin."

Aku tidak membalas. Diam-diam meraba kantong celana olahraga untuk mengecek ponselku. Untungnya masih di sana. Kita lanjut berjalan dengan diam. Waktu telah sampai di depan kamar mandi, aku teringat sesuatu.

Aku memberhentikan langkah. "Oh iya, Nya. Gelang lo ternyata ketinggalan di rumah gue. Gue baru nemu kemarin waktu bersih-bersih kamar—"

"Mana?"

Aku menoleh horor, bukan pada Sonya. Melainkan Erlangga yang datang entah darimana dan mendarat tepat di sampingku.

Aku membeku. Sonya menatapku dan Erlangga bergantian. Ekspresi bingung dan heran mendominasi raut wajahnya.

Belum apa-apa Sonya sudah naik darah. "Lo ngapain di sini—"

"Mana?"

Erlangga tidak memperdulikan Sonya. Lanjut menagihku dengan hal yang aku sendiri tidak tau apa. Tangannya senantiasa terulur, gestur umum orang meminta sesuatu.

Aku tertawa palsu. Berusaha menyembunyikan kegugupanku. Bertanya dengan nada yang menyiratkan ancaman. "Maksudnya apa ya?"

Erlangga berdecak. "Kunci loker gue." Pintanya tidak sabar. "Dari kemarin di lo kan. Mana?"

"OIYA."

Saking paniknya, aku buru-buru mengambil ponselku di saku. Berusaha melepas kunci tersebut. Gerakanku berantakan. Telapak tanganku mendadak basah, semakin mempersulit semuanya. Gerakan sesederhana mencopot kunci dari lubang case ponselku tidak bisa kulakukan gara-gara aku yang kepalang panik.

Untuk sejenak, saking frustasinya aku karena kunci tersebut tidak lepas-lepas juga, aku bahkan melupakan kehadiran Sonya yang pastinya jadi orang paling bingung saat ini.

"Bentar bentar." Sonya mengerjap. "Ini ada apa sih? Kenapa kunci loker lo bisa ada di Namira?"

"Kemarin kita di UKS berdu—"

Respon tubuhku bergerak pertama. Kakiku menendang kaki Erlangga, tepatnya di bagian belakang lututnya. Membuatnya nyaris oleng sejenak.

Erlangga tampak tidak terima.

the star, falling.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang