eight

51 8 0
                                    


"Jadi bagaimana rasanya dua hari di sekolah tanpa saya, saudara Namira?"

Sonya mengepalkan tangan dan mengarahkannya di depan bibirku, berlagak seolah kepalan tangannya adalah mikrofon hayalan.

It was all mess, batinku. Karena dalam kurun waktu dua hari itu, aku mengenal orang-orang baru dan mengalami kejadian paling konyol sepanjang 17 tahun aku hidup.

Aku menatap samar pada tanganku dan ponselku yang layarnya pecah.

"Biasa aja."

Mikrofon hayalan Sonya hancur. Berganti dengan tangannya yang mengibas di depan wajahku. "Halah. Masa lo nggak kangen sih sama gue?"

"Ada yang kangen, tapi bukan gue."

Sonya sontak berhenti berjalan. Aku ikut berhenti juga. Kami berdua kompak berdiri diam di koridor sebelah lapangan. Kening Sonya berkerut dalam, menatapku penuh heran.

"Hah? Siapa dah."

Aku melipat tangan di dada, menyandarkan tubuh di dinding entah kelas apa.

Aku mengedikkan dagu ke satu titik. "Tuh."

"Siapa sih? Jangan bikin gue penasaran deh."

Sonya ikut celingukan mencari titik yang aku maksud. Matanya bergerak liar menyorot satu demi satu orang yang berada di lapangan. Namun sepertinya Sonya keburu frustasi. Sebab orang yang berada di lapangan bukan satu dua biji, melainkan puluhan.

"Lo ngarang ya?" Sonya balik menoleh ke arahku dengan pandangan kesal. "Lo ngerjain gue ya kan? Nggak ada orang yang gue kenal ada di lapangan."

"Ada tuh." Aku menjawab santai. "Tuh dia." Tunjukku lagi.

"Siapa sih?!" Sonya mendesis sebal. "Gue berasa orang goblok celingukkan nyari daritadi padahal objek yang lo tunjuk emang nggak ada—"

"Ada. Tuh orangnya lagi basketan."

"Mana ada sih—ERLANG?"

Sonya menoleh dengan tatapan nyalang.

Entah kenapa aku refleks menggeser badan satu langkah ke samping. "Iya."

"Ha-ha-ha." Sonya tertawa sarkastik. "Lucu. Ada yang lebih konyol lagi nggak?"

Aku mengedikkan bahu. "Dia kemarin nanyain lo."

Melihat wajahku yang serius tidak ada tanda-tanda bohong atau keusilan, raut Sonya perlahan berubah. Ekspresinya kaget bercampur tak percaya. Dia menatapku dengan mulut menganga. "SUMPAH?! Akhirnya lo ada ngobrol sama Erlang?! Kalian ngobrolin apa aja? Dia ngeselin kan? Kalo ngomong irit banget kayak lagi puasa ngomong! Ya kan ya kan?! Ih jawab, Na! Kalian ngomongin apa aja? Siapa yang ngajak ngomong duluan?!"

Aku mengernyit jengkel. Kok topiknya jadi berubah jadi menyudutkanku begini sih? Padahal kan di awal aku niatnya menggoda Sonya.

Jengkel, aku meraup wajah Sonya dengan telapak tangan. "Nggak jadi. Lo berisik."

Aku kembali melanjutkan jalan. Namun Sonya menarik ujung seragamku kuat-kuat.

"Jawab dulu pertanyaan gueeee! Gue nggak bakalan biarin lo masuk kelas kalau lo kabur gitu aja tanpa jawab apapun!"

"Jam istirahat bentar lagi abis—"

"Bodo amat! Ayo cepat jawaaabbb!"

"Nanti aja di kelas—"

the star, falling.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang