seven

70 10 0
                                    

Aku memutuskan masuk kelas di waktu mepet bel masuk. Aku buru-buru mempercepat langkah saat kulihat dari arah berlawanan Pak Salam—guru yang akan mengajar kali ini—berjalan sambil menenteng buku di tangan.

Kelas cukup berisik saat aku masuk. Hampir semua meja terisi penuh. Aku cepat-cepat melangkah menuju mejaku, yang tidak lama kemudian disusul dengan Pak Salam yang baru saja masuk kelas.

Aku bahkan setengah jalan menuju mejaku kala Erlangga mendadak bertanya.

"Mana bulpennya?"

Alisku terangkat sebelah. "Hah? Bulpen apa?"

"Tadi katanya lo mau kopsis beli bulpen. Mana bulpennya sekarang?"

Oh iya. Tadi kan aku beralasan untuk pergi ke kopsis membeli bulpen pada Erlangga. Bisa-bisanya aku lupa. Tapi bodo amatlah. Aku buru-buru duduk di mejaku dan mengeluarkan alat tulis serta buku.

"Nggak jadi beli. Bulpen yang gue mau abis." Aalasanku lagi.

Aku bisa melihat dari sudut mataku, Erlangga tersenyum miring. Baru satu hari aku duduk dengannya, namun aku sudah bisa mengenalinya sebagai senyum mengejek khas Erlangga. Aku tau dia dari awal sadar akan kebohonganku. Dia hanya sengaja membuatku berbohong lagi dan lagi.

Mungkin, di mata Erlangga itu adalah sebuah lelucon.

Aku berusaha fokus pada Pak Salam yang mulai membuka pembelajaran meskipun sedikit terdistraksi karena udara yang sangat panas hari ini. Aku menyadari dahiku sedikit berkeringat, padahal aku yakin AC sudah di setel ke suhu paling rendah. Mungkin ini karena aku habis panas-panasan di luar juga.

Coba saja kalau ada Sonya. Aku tidak perlu bersikap useless dengan mengipas-ngipasi wajahku dengan buku tulis. Sebab Sonya selalu membawa kipas portabel hampir setiap hari ke sekolah.

Aku tanpa sengaja melirik Erlangga karena anak itu sedari tadi diam tanpa suara. Hanya untuk menemukan lelaki itu menumpukan kepala di tangan dan menatapku dengan pandangan datar. Sumpah, sejak kapan dia menatapku begitu?

Jengah terus-terusan ditatap begitu oleh Erlangga, aku bertanya. "Kenapa?"

Dia diam.

"Tidur lagi aja. Tenang aja, yang ngajar bukan Bu Mawar."

"Udah berani ngeledek lo?"

Kalau gitu saja baru mau menjawab. Dasar!

"Nggak kok." Aku melipat bibir ke dalam. "Gue ngomong apa adanya."

Padahal dalam hati aku bergumam 'pftt' sambil mati-matian menahan tawa.

Erlangga tidak bilang apa-apa lagi, tapi dari ujung mataku aku tau dia masih memperhatikanku.

Aku berusaha acuh, kembali menekuni buku dan fokus pada pembahasan Pak Salam di depan. Berusaha sok sibuk, walau sebenarnya aku memang cukup sibuk, berusaha mengimbangi menulis secara cepat dengan penjelasan Pak Salam yang tidak kalah cepat. Aku berdecak kala salah menulis. Tanganku terulur untuk mengambil tipe-x di samping meja, dan aku hampir dibuat terjengkang waktu Erlangga masih menatapku lamat-lamat.

Aku segera mengambil tipe-x ku, menutupi kata yang salah tulis dengan cairan pekat tersebut, lalu kembali melanjutkan kegiatanku. Untuk beberapa saat, aku berusaha mengabaikan tatapan Erlangga yang saking tajamnya serasa bisa membolongi dahiku.

Namun aku menyerah. Entah apa tujuan cowok itu menatapku begitu. Yang jelas aku benar-benar tidak nyaman.

Aku meletakkan penaku di meja, berhenti menulis sejenak untuk mengambil minuman isotonik yang aku letakkan di meja. Tanganku berusaha keras membuka segel penutup, namun gagal. Aku menggeram tertahan. Ini bukan karena aku tidak bisa membuka segel botol baru, melainkan karena tanganku lembab karena keringat ditambah seluruh permukaan botol yang masih basah bekas uap dingin.

the star, falling.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang