nine

70 7 3
                                    

Waktu aku sampai di UKS, di dalamnya cuma terdapat satu anak PMR

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu aku sampai di UKS, di dalamnya cuma terdapat satu anak PMR. Tidak perlu melihat bet nya untuk tau bahwa dia adalah adik kelas. Sikapnya tergolong lugu. Tidak kaget waktu aku masuk lalu bertanya untuk meminta hansaplast, dia kelimpungan sendiri.

"Kak, sebentar ya saya cari dulu. Saya lupa ditaruh dimana." Perempuan itu meringis sembari beranjak dari meja, mengobrak-abrik satu persatu laci yang ada. Dari tampangnya kentara sekali dia merasa tidak enak padaku. Dia menoleh lagi. "Sambil nunggu, kakak boleh duduk aja di ranjang. Daripada berdiri terus nanti pegel."

Aku tersenyum. "Makasih ya."

Sambil menunggu anak PMR itu mencari hansaplast yang aku minta, aku berlalu ke arah ranjang. Menyibak gorden yang menjadi penghalang. Ranjang di UKS gedung barat ini memang sedikit, hanya tiga. Dan semuanya hanya dipisahkan dengan selembar kain berupa gorden tipis di bagian depan dan samping. Aku memilih UKS di gedung barat ini meskipun cukup jauh dari kelasku berada. Sengaja, sebab aku tau UKS ini sering sepi.

Aku duduk anteng di ranjang, diam menunggu. Aku masih bisa tenang di menit pertama, namun waktu aku melihat jam di ponselku dan lima menit sudah berlalu, aku mulai tidak sabar. Di luar bunyi kelontang kelontang yang aku yakin dari laci yang bergeser, barang bertubrukan, dan kertas bergesekan masih nyaring terdengar.

Aku mengernyit saat mendengar suara orang kumur-kumur lalu memuntahkannya di wastafel.

Kemudian, ranjang di sebelahku berderak. Detik selanjutnya, gorden yang menjadi penengah antara ranjang yang aku duduki dengan ranjang sebelah diseret terbuka. Aku tidak bisa tidak terkejut waktu tau orang dibalik gorden tersebut adalah Erlangga.

"Tanggung jawab." Erlangga mendadak berujar.

"Hah?" aku melongo, bingung. "Lo ngapain di sini—"

"Tanggung jawab."

Keningku mengerut kian dalam. Aku yakin alisku juga menukik tajam. Aku sadar ekspresiku sekarang sangat konyol, tapi aku tidak peduli. Aku terlalu bingung dengan kehadiran dan sikap tiba-tibanya.

"Tanggung jawab apa sih? Jangan ngaco."

"Lidah gue kegigit." Lalu dengan polosnya, dia menjulurkan lidahnya masih dengan ekspresi datar. Mirip anak anjing.

Aku menatapnya aneh. Memang benar, saat aku perhatikan dengan seksama, di lidahnya terdapat garis yang memerah.

Tapi kan, "Apa hubungannya sama gue?"

"Lo nyundul gue." Erlangga tidak terima. "Gara-gara lo nyundul gue, lidah gue kegigit."

Ah, iya. Namira bodoh. Aku baru ingat kalau kepalaku tadi menyundul dagunya dan aku belum minta maaf.

Rautku perlahan berubah.

"Maaf..." pintaku tulus, menatapnya penuh rasa bersalah. "Gue nggak sengaja, beneran. Gue tadi mau minta maaf, tapi lo udah pergi duluan."

the star, falling.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang