fourteen

39 2 0
                                    


Aku memandang dua kantong besar kresek berisi air mineral.

Mungkin benar kata orang-orang. Just wait and see. Bukan sok-sok an mengiyakan sesuatu yang cuma berujung merugikan diri sendiri. Aku mengabaikan tatapan aneh ibu stan kantin tempat aku membeli belasan air mineral ini. Mungkin ibu tersebut heran padaku yang diam berdiri seraya menatap kosong pasa dua kresek yang aku genggam di masing-masing tangan.

Sebelum benar-benar angkat kaki dari kantin dan kembali menuju tribun, aku menghela napas panjang untuk kesekian kalinya.

Aku memantapkan hati, memutuskan untuk segera menyelesaikan taruhan tidak berguna ini.

Baru saja aku berbalik, seruan mengagetkan mengurungkan niatku.

"Mbak mbak!"

Ternyata ibu kantin.

"Minumnya belom dibayar." Lanjutnya. "Totalnya tujuh puluh lima ribu!"

Ternyata ibu kantin tadi menatapku aneh bukan karena aku cuma diam berdiri sambil menenteng kantong kresek. Ternyata karena aku belum bayar!

Aku ingin menangis.

***

Aku ingin melarikan diri di detik pertama aku menginjakkan kaki kembali di stadion.

Situasi di stadion tidak seramai tadi. Meski tetap saja menurutku, ini masih tergolong ramai. Kuantitas penonton berkurang setengah, namun suara mereka lebih dari cukup untuk membuat studion penuh oleh suara hiruk pikuk mereka. Dari posisiku berdiri, aku tidak menemukan Sonya, Aura dan Jema di tribun penonton.

Aku menghela napas lega.

Sementara tim basket sekolahku, masih lebur pada euforia. Anak-anak osis mengelilingi mereka dengan kamera di tangan—mungkin untuk dokumentasi sekolah. Anak cheers—yang meskipun tidak tampil karena ini bukan pertandingan resmi—ikut berfoto bersama masih dengan seragam sekolah.

Aku mempererat genggaman, merasa keputusanku untuk menyetujui taruhan bersama Erlangga salah besar. Aku menggigit bibir. Merasa harus menyelesaikan ini secepat yang aku bisa. Lebih cepat aku selesai, lebih cepat aku minggat.

Mataku berbinar waktu mendapati salah satu dari tim basket yang tidak ikut fotbar duduk di kursi tribun pemain. Itu Gilang!

Segera saja aku menghampirinya.

"Namira?" Gilang tampak terkejut waktu sadar aku mendekatinya. Dia beranjak berdiri. "Ada apa, Na?"

Sama, Lang. Aku juga bingung kenapa aku ke sini dan mau-mau saja melakukan hal konyol begini.

Aku meringis. Menjawab tanpa kata dengan mengulurkan kedua tanganku. "Mau ngasih ini. Ada minum buat anak basket."

"Widih, banyak amat." Gilang antusias mengambil alih kedua kantong kresek dari tanganku dan mengintipnya sedikit. "Dari siapa by the way?"

"Dari anak osis." Jawabku asal.

"Oh? Lo anak osis, Na?"

"Ya?"

"Ya ampun gue baru tau. Padahal si Ega kan anak osis juga ya?"

"Hah?!"

Aku spontan mengatupkan mulut. Stop hah hoh hah hoh kayak orang bego, Namira, kataku pada diriku sendiri. Ega siapa lagi, aku berpikir. Oh! Ega temen sekelas lu sendiri, Namira blegug.

Aku mencoba memasang ekspresi apa saja selain cengo. Padahal sebelumnya aku sudah mempersiapkan alasan untuk ngeles tapi untuk yang ini sialnya aku kecolongan. Bodoh juga ya kalau aku memakai alasan dari osis. Padahal aku sendiri bukan dari osis dan bahkan anak osis sendiri tengah berkumpul di sini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

the star, falling.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang