Lembar tiga puluh satu

496 63 42
                                    

.

.

Karena sudah berhasil menang dari argumen dengan otak dan hatinya sendiri, Jeon akhirnya putuskan untuk keluar dari kamar. Berjalan menuju ruangan utama di lantai satu yang sudah ada seluruh keluarga berkumpul di sana. Termasuk Tae dan wanita cantik nan manis juga satu balita yang terus berceloteh riang di pelukan.

Terlihat mengobrol hangat dengan Nyonya Jeon yang kini meminta alih si balita menjadi ada di pangkuan nya.

Jeon menilik semua itu dalam diam. Tergugu di ujung tangga lantai kedua setelah tekad kuat yang tadi dia bangun kini sudah terasa roboh kembali.

Nyatanya semua pondasi kuat nya sia-sia.

Tubuh nya tetap seperti bergetar halus, menahan segala emosi yang berkumpul di otaknya. Bagaimanapun, dia masih lah pria dengan tempramen buruk yang suka main fisik terlebih dahulu di banding otak. Juga pria dengan segala pikiran rancu yang berkecamuk dan selalu kebingungan mengekspresikan rasa yang sedang dia alami.

Kehadiran Tae seperti de javu.
Tidak jauh layaknya pertemuan awal ketika pria itu pulang dari luar kota untuk pertama kali. Sama juga membawa seorang wanita.
Bedanya, kini Jeon dengan perasaan yang tidak karuan dan adiknya itu terlihat sangat bahagia.

Untuk beberapa saat dia mengumpat kecil, pilu menguasai rasa ketika dia sadar bukan lagi dirinya salah satu alasan Tae menunda beribu keluh. Posisi nya kini hanya sebatas kakak saja. Tidak lebih dan Jeon yakin bahkan pria itu mungkin sudah menimbun rasa untuk nya terlalu dalam. Tidak mungkin kembali ke permukaan apalagi sekarang sudah hadir sosok lain.

Bukankah seharusnya Jeon juga melakukan hal yang sama?
Memangkas cinta yang dia biarkan tumbuh merambat hingga selalu berbunga harapan jika penantian nya akan berbuah manis.

Padahal nyatanya, dia sendiri yang terlalu menaruh asa setinggi langit. Lupa jika Tae bahkan pergi tanpa pamit ke padanya. Pergi tanpa meninggalkan kata. Pergi tanpa janji untuk segera kembali.

Jeon tau seharusnya dia sadar diri. Tapi, dia sudah terlalu jatuh. Sudah terlalu terperosok. Dan kini dia baru sadar jika dulu, kembalinya sosok itu membuat dirinya kehilangan segala arah kehidupan. Membuatnya nyaris sinting layaknya orang tidak waras.

Hingga sampai pada bagian di mana dia tidak bisa berhenti, tidak sedikitpun bahkan ketika Tae sudah tidak menjadikan nya lagi tempat pulang layaknya rumah.

Pria Kim sudah menemukan rumah baru. Menyisakan dirinya yang luntang-lantung di peluk nestapa.
Jeon rasanya mau menyerah, tapi tidak semudah itu dia menghapus rasa dan kenangan.

Namun sekali lagi, dia mencoba, ketika dia berkelana diantara jarak yang tercipta di mereka berdua, dinding pembatas itu kembali teringat di otaknya. Tinggi dan kokoh.

Kemudian dia terkekeh, karena bagaimana mungkin mereka bisa bersama jika cara mereka menjalani kehidupan saja kini sudah berbeda.
Berdalih pun tidak penting, semuanya hanya akan tetap bermuara di rasa perih yang tidak sebanding.

Jeon tidak akan memaksa kehendak nya sendiri, itu hanya sebuah omong kosong penuh drama. Merelakan Tae adalah jalan terbaik untuk sekarang. Dia hanya perlu terbiasa, 'kan?

Mengejak dan mengemis cinta layaknya jalang? Dia tidak akan serendah itu. Apalagi ini tentang rumah tangga adiknya.

Dia tidak ingin merebut kebahagiaan yang sudah tercipta. Sebab dia juga meragu, jika dirinya bisa persembahkan bahagia yang lebih besar dari apa yang kini Tae terima.

Bukan memilih menjadi pecundang dengan menyerah begitu saja, tapi logikanya lebih masuk akal. Dia tidak akan merendahkan ego dan harga diri untuk hal yang belum pasti.
Dia yakin, jika Tae memang untuknya, pria itu akan kembali ke pelukan bagaimana pun jalan nya. Jika Tae adalah sebagian benang merah yang kini tengah merenggang dari nya, temali itu akan kembali mengencang seperti semula apapun caranya.

INTO YOU ( TAEKOOK ) *END*✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang