Suatu pagi yang cerah, dimana waktu yang sangat baik digunakan untuk berangkat bekerja dan memulai kegiatan. Seorang perempuan tampak tergesa-gesa memasuki sebuah pengadilan negeri di daerah tersebut. Banyak wartawan yang tampak ingin mewawancarai perempuan tersebut.
"Mbak Sahira bagaimana pendapat anda tentang permasalahan ini, Mbak."
"Sebagai pengacara korban apakah sudah mendapatkan bukti?"
Wartawan itu terus saja melayangkan pertanyaan sembari mengejar Sahira. Ia tampak kerepotan dengan tidak didampingi asistennya. Bahkan berkali-kali ia tersenggol dan hampir jatuh. Bahkan jalan didepannya seolah terhalangi oleh banyaknya wartawan yang mencoba meliput.
"Tunggu saja di sidang pengadilan nanti ya!" Jawab Sahira sambil terus berusaha berjalan. Hampir saja ia terkena pukulan mikrofon dari salah satu media yang kesal karena tidak puas dengan jawaban Sahira, sampai sebuah tangan menghalangi mikrofon tersebut sehingga tidak jadi mengenai Sahira.
"Mohon maaf Mas dan Mbak, untuk tetap menjaga sopan santun dan tidak melukai narasumber." Ucap pria itu lugas, Sahira yang terkejut ikut terdiam dengan suara lantang pria itu.
Perlahan jalan terbuka dan para wartawan menyingkir dari hadapan mereka, menyisakan Sahira dan pria itu.
"Bu Sahira? Pengacara keluarga Amira?" Tanya pria itu.
"Iya saya Sahira, Bapak ini siapa ya?"
"Perkenalkan saya dokter Fajrul, dokter yang menangani almarhum Amira sebelum ia dinyatakan meninggal dunia." Dokter Fajrul mengulurkan tangannya.
Sahira tersenyum dan membalas jabat tangan itu, akhirnya kasusnya mendapatkan titik terang. Dengan didatangkannya dokter Fajrul, otomatis lawan sidangnya akan kalah telak.
"Terimakasih dokter, anda bersedia hadir pada persidangan ini. Semoga bukti yang menunjukkan bahwa Amira meninggal dunia karena kehabisan darah saat melahirkan itu berguna. Dan saya harap anda bersaksi dengan jujur."
Mereka berdua memasuki ruang pengadilan, seperti dugaan Sahira sebelumnya bahwa Amira meninggal dunia bukan karena kelalaian pihak rumah sakit. Dokter Fajrul bersaksi bahwa selama ia menangani Amira, ia tidak menemukan luka kekerasan dan murni karena kekurangan darah dan kondisi yang sudah tidak bisa bertahan.
Dokter Fajrul juga menunjukkan bukti cctv yang memperlihatkan ia yang berusaha mendorong brangkar Amira ke dalam ruang bersalin.
"Terimakasih Bu Sahira, atas bantuan untuk menyatakan saya tidak bersalah dalam kasus ini." Ucap Pak Bakrie, klien Sahira yang tak lain adalah direktur rumah sakit tempat Lavin koas, dan tempat kerja Fajrul.
"Sudah tugas saya menegakkan keadilan bagi yang tidak bersalah pak."
"Terimakasih atas kesaksian anda, dokter Fajrul."
Persidangan selesai dan Sahira pun menghubungi asistennya untuk mengantarkan mobilnya ke depan gedung pengadilan.
"Maaf Sahira, mobilnya masih di bengkel kemungkinan nanti sore baru bisa." Ucap seseorang diseberang sana.
"Aduh Milka, gimana sih aku nggak bawa uang cash tau. Gimana ini, abis ini juga mau ke rumah sakit tempat Lavin koas."
"Ya mau bagaimana Sa, orang kamu tau sendiri kerusakan nya bagaimana. Abis rem blong kemarin."
Tut Tut Tut Tut
Sahira begitu kesal dengan asistennya itu, bagaimana tidak. Milka sudah tidak hadir membantunya saat di kroyok wartawan dan tidak bisa mendatangkan mobilnya.
'Apa aku telpon papa aja ya, tapi gengsi juga.'
Alhasil saat ini Sahira hanya mondar-mandir tidak jelas sambil menggigiti kuku jarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Pak Dokter Untuk Bu Pengacara (Sebagian Dihapus)
Teen FictionLatusya Sahira Muktar, S.H., M.Kn. adalah seorang Pengacara kondang yang tak hanya cantik parasnya tetapi juga cerdas otaknya. Merupakan anak pertama dari pasangan designer dan pengacara terkenal, Afifah Aryati dan Fadli Muktar. Ia bertemu dengan se...