8

9.9K 384 0
                                    

Sahira tampak sudah lebih mendingan lagi ini, terbukti ia sudah bisa berjalan kesana kemari dengan tetap menyeret tiang infusnya. Lavindra sudah memberitahunya semalam bahwa dokter Fajrul akan menjenguknya sekalian melepas selang infusnya.

"Kak! Kak Sahira udah bangun?" Sudah dipastikan itu adalah suara Lavin yang mengetok pintunya.

"Udah Vin!" Sahut Sahira.

"Ini ada dokter Fajrul kak, Kak Sahira buka pintunya dong!" Mata Sahira membulat. Ia harus segera bersiap-siap menyambut kedatangan dokter Fajrul.

Ia segera mengatur detak jantungnya yang seakan mau loncat dari posisinya dan membenahi posisi tidurnya. "Masuk aja, nggak dikunci."

Ceklek!

Senyum ramah tampak ditunjukkan oleh dokter Fajrul yang berjalan dibelakang Sahira sambil menenteng tas medisnya. Sejenak Sahira memalingkan wajahnya agar tidak terlihat gugup.

"Hai apa kabar?" Sapa dokter Fajrul.

"Lebih baik dokter, sudah tidak lemas dan tidak pusing."

"Tes denyut jantung sama tensi darah dulu ya!" Dokter Fajrul mengarahkan ujung stetoskop di dada Sahira. Dahinya mengernyit sebab detak jantung Sahira sedikit lebih cepat dari batas normal. Netranya beralih menatap wajah Sahira, ia tahu apa yang menyebabkan denyut jantungnya terasa cepat. Wajah Sahira terlihat memerah seperti kepiting rebus.

"Rileks Sahira! Apa kamu gugup." Lavindra yang mendengar itu tampak menahan tawanya. Tetapi sudah lebih dulu mendapat tatapan mematikan dari Sahira. 

Lavindra berdehem untuk mengurangi rasa ingin tertawanya, sepertinya kakak perempuannya ini beneran jatuh cinta sama dokter Fajrul. "Lavindra tinggal ya kak! Dok!" Dokter Fajrul mengangguk.

Lagipula ia sedikit terganggu dengan Lavin yang terus-terusan menatap kegiatannya. Bahkan saat mengeluarkan alat medisnya tak luput dari perhatian koas tersebut.

Setelah merasa cukup dengan stetoskopnya, laki-laki itu tampak mengalungkan stetoskopnya pada lehernya dan beralih pada alat tensimeter nya.

Ia tersenyum saat mendapati tekanan darah Sahira sudah masuk batas normal. "Mau di lepas infusnya?" Tanya dokter Fajrul.

"Besok saya ada meeting sama klien dok." Seru Sahira yang bermaksud memberi kode atas dirinya yang sudah baik- baik saja.

"Iya, tapi tetap jaga kesehatan dan istirahat yang cukup ya! Siklus menstruasinya lancar kan?" Tanya dokter Fajrul sedikit canggung membahas tamu bulanan perempuan.

"Kemarin keluar banyak dok, sampai-sampai bocor dan ngotorin seprei. Tapi nggak sesakit malam itu, ini nggak terlalu banyak."

"Bagus semakin lama waktunya, intensitas darahnya akan semakin sedikit. Kabari aku segera kalau ada yang aneh dengan darah menstruasinya, mengerti Bu Pengacara." Sahira memberenggut kesal karena ia dipanggil ibu.

"Iya pak dokter."

Dokter Fajrul kembali dengan kegiatannya, dengan perlahan ia menarik jarum infus dan membereskan semuanya, serta membuang bekas infusnya itu kedalam plastik sampah.

"Udah beres semua, inget! Vitamin sama tablet tambah darahnya harus dikonsumsi rutin." Sahira mengangguk paham.

"Oh iya sebentar saya menaruh sesuatu di meja depan." Dokter muda itupun keluar dan tak lama kemudian kembali dengan menenteng sebuah plastik putih yang didalamnya berisi sterofom, dari aroma yang tercium sepertinya itu bubur ayam.

"Aku beliin kamu bubur ayam, dimakan ya!" Sahira tersenyum. Dokter Fajrul memang idaman perempuan manapun. Sudah ganteng, baik, seorang dokter lagi.

"Kok malah melamun, Sahira."

Cinta Pak Dokter Untuk Bu Pengacara (Sebagian Dihapus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang