Evan G Angelo (1)

15 5 0
                                    

Kehidupan Evan tidak berbeda dari kebanyakan kehidupan anak-anak seumurannya.

Ia bangun pagi, sarapan, pergi ke sekolah, pulang dan menghabiskan waktu dengan ibunya, ia hanya punya sang ibu lagipula. Namun, berkat perhatian paman dan kakeknya, Evan tidak tumbuh menjadi anak yang tertutup.

Hanya saja,

"Evan, tersenyum!" Seorang juru kamera bersiap mengambil foto anak berusia enam tahun dengan seragam SD.

Namun, yang dipanggil tetap memasang wajah datar, Mikha yang menatapnya merasa khawatir. Apa anaknya memiliki kelainan otot wajah?

"Ayolah nak, kalau kau tidak tersenyum, nanti kau tidak akan punya pa–"

Dan langsung di sambut dengan tepukan di bahu oleh pria yang berdiri di belakangnya. Laxus menemani Mikha untuk mengambil foto formal milik Evan. Seharusnya dilakukan di sekolah, hanya saja, saat itu Evan terkena cacar dan tidak bisa mengambil foto di sekolah.

"Cucuku tampan, tidak mungkin dia akan menjomblo sepertimu."

Sang juru kamera menelan ludah, "Maaf, sir."

Meski beberapa kali diberi arahan, Evan bahkan tidak tersenyum. Sebaliknya, ia turun dari kursi dan memeluk kaki sang bunda.

"Mama, Evan sudah tersenyum tapi paman itu bilang Evan tidak tersenyum, mulut Evan pegal."

'KAPAN KAU TERSENYUM, NAK?!' Orang dewasa disana hanya bisa membatin bingung.

-

Siang hari di musim gugur, sebuah mobil bercat silver terparkir di halaman sebuah sekolah dasar. Ave–sang pengemudi mobil– hanya bersiul-siul senang. Hari itu, ia pulang cepat, berniat untuk menjemput keponakan kesayangannya dan menculiknya ke toko makanan manis.

Ia bisa membayangkan bagaimana pipi gembul itu bergerak naik turun saat sedang mengunyah cake strawberry kesukaannya.

Sebenarnya tidak perlu menunggu lama, Evan tampak berjalan bersama dua orang temannya dari arah gedung.

Ave yang melihatnya langsung menghampiri Evan. Dan tanpa permisi langsung menggendong sang keponakan yang masih memasang wajah datar.

"Evan~ kangen dengan paman?" Ave mengecupi pipi Evan.

Evan tersenyum tipis, ia mengangguk lalu memeluk leher sang paman dengan senang. "Un, paman sibuk."

"Maafkan pamanmu ini, sebagai gantinya ayo kita bersenang-senang!"

Kepala Evan di miringkan bingung, "Mau kemana?"

"Kemanapun yang Evan mau!"

Mata merah gelap itu membulat, menatap Ave dengan tatapan berbinar. Ya, anak mana yang tidak akan terpancing dengan bujuk rayu setan?.

"Evan mau pergi dengan paman?"

Evan mengangguk penuh semangat. Di sisi lain gerbang, orang yang seharusnya menjemput Evan memilih untuk berbalik dan pulang.

'Yah, biarlah...'

Meski begitu, saat pulang Evan dan Ave mendapatkan ceramah panjang lebar dari Laxus, alasannya karena mereka tidak memberi kabar bahwa mereka akan keluar sampai malam. Terlebih hanya memakan manisan seharian.

Evan dilarang makan makanan manis selama satu minggu dan Ave dilarang membawa Evan jalan-jalan selama sebulan penuh.

Mikha? Justru ialah yang menjadi dalang dibalik hukuman yang diterima Ave dan Evan.

-

Cafe itu dibuka belum lama, Mikha yang jenuh dengan kegiatannya di rumah memilih untuk membuka cafe sendiri. Ia memang mengambil jurusan Tataboga saat masih kuliah dulu, sehingga masakannya–terutama makanan manis– terjamin kelezatannya.

Pagi hari setelah mengantar Evan sekolah, Mikha akan pergi membuka toko. Jika sepi, ia bisa menutup tokonya sejenak dan pergi menjemput Evan, namun, jika ramai, ia akan menghubungi Ave atau Laxus untuk menjemput Evan.

Namun di suatu ketika saat cafe sedang ramai-ramainya, tidak sengaja Mikha mengirim pesan kepada keduanya. Ia tidak fokus saat itu.

Tentu saja, diminta untuk menjemput kesayangan mereka dari sekolah, kedua orang itu langsung tancap gas ke lokasi, namun saat melihat kedatangan satu sama lain, keduanya memasang aura persaingan.

Evan hanya bisa menatap bingung.

"Paman dan kakek mau membawa Evan jalan-jalan?"

Keduanya luluh saat bola mata besar itu menatap penuh harap pada keduanya. Ave dan Laxus dibuat KO seketika.

-

"Saya rasa baju ini cocok untuk Evan." Laxus mengambil sebuah kemeja dengan vest yang memang sedang populer belakangan ini.

Ave mengambil baju lain, seperti kaos lengan panjang dan outer putih, "Ini juga bagus, Tuan Laxus."

"Benar, kita beli saja keduanya."

Evan hanya menatap bingung ke arah paman dan kakeknya yang asyik berdiskusi tentang baju yang akan mereka beli untuk Evan. Tentu saja, sembari menjilati es krim di tangannya.

Lalu, Mikha menyesal meminta keduanya menjemput Evan hari itu.

-

Happy FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang