Dia (2)

10 5 0
                                    

"Jangan menakuti pamanku, Tuan. Aku juga tidak meminta untuk ditemani." Celetuk Evan sembari menatap Ava datar.

Lalu mengembalikan ponsel di tangannya pada sang pemilik asli.

Daripada membalas celetukan Evan, Ava lebih memilih untuk diam. Lagipula, tak ada gunanya berdebat dengan anak kecil. Terlebih lagi, Ava pun merasa dirinya jauh lebih berkuasa karena bagaimanapun juga Ave adalah adiknya, dan ia tahu Ave pasti paham alasannya.

Entah menurun darimana sifat posesif Evan pada orang terdekatnya, memang tidak separah saat terjadi sesuatu pada ibunya, tapi tetap saja mendengar Ave yang seolah ketakutan membuatnya kesal.

Tidak perduli siapapun itu.

Meski sebenarnya ia merasa berhutang karena telah dibantu oleh Ava sebelumnya. Tapi, tindakan menyebalkannya itu membuat Evan enggan berterima kasih.

Lagipula, bisa-bisanya pamannya yang baik hati itu memiliki saudara yang menyebalkan seperti itu.

Pikiran itu ada di kepalanya. Ia masih cukup santun dengan membiarkan mulutnya tertutup rapat.

Ava menerima ponselnya kembali. Sekarang, ia hanya perlu menunggu Ave sampai. Selain itu, Ia juga ingin menanyakan beberapa hal pada Ave, entah ia sempat atau tidak nanti.

Di sisi lain, Ava juga merasa cukup familiar dengan anak ini, walau ia tak mengenalnya sama sekali. Mungkin saja hanya firasatnya, ia juga tak ingin memikirkannya.

Ava menghela napas panjangnya. Yah, dari dulu ia juga tak punya niatan berurusan dengan anak kecil, sejak dulu, bahkan sejak kehidupan sebelumnya.

Memori masa kecilnya muncul di dalam kepalanya, ia seperti melihat seorang anak kecil berambut hitam tak terawat yang agak panjang, acak-acakan, dan lusuh di dalam gudang sendirian.

Mengalihkan pikirannya, Ava pun memejamkan kedua matanya untuk berhenti memikirkan itu. Masa lalu yang bodoh, menurutnya.

Evan kembali menatap pria di hadapannya. Entah kenapa rasa tidak suka langsung menyeruak begitu saja di dalam dirinya.

Dan kesunyian yang canggung membuat Evan berharap Ave segera datang dan membawanya pergi.

Padahal ia yakin mereka tidak saling mengenal. Lalu memilih untuk melirik ke arah lain untuk menatap ke arah keramaian.

Orang-orang berlalu lalang, jalanan ramai. Mungkin karena sudah jam pulang kerja dan istirahat sore.

Ia berpikir, mungkin saat ini di cafe milik ibunya sedang ramai. Akan lebih baik kalau beliau menutup cafe itu dan beristirahat di rumah.

"Padahal kalau sibuk, kenapa tidak pergi saja? Aku bukan anak sd yang harus di temani." Kalimat ini digumankan sangat pelan.

Mungkin hanya terdengar seperti hembusan napas.

Lalu mengeratkan coat yang digunakannya. Salju benar-benar turun.

Mendengar pertanyaan itu, Ava sampai kembali melirik ke arah anak itu. Pertanyaan yang masuk akal, namun kurang masuk akal bila itu ditanyakan oleh anak kecil seperti ini.

'Mungkin anak ini ketika dewasa nanti akan berpikir kritis, atau tajam.'

Walau begitu, pertanyaan itu terdengar konyol pula bagi Ava. Ia sampai kembali memandang lurus ke depan dan melipatkan kedua tangannya di depan dadanya lagi.

"Fuh." Ia tersenyum sinis, sangat tipis.

"Bagaimana denganmu? Kalau kau memang tak mau ditemani, kau bisa saja langsung pergi dari sini sekarang juga. Aku tak akan keberatan, tapi mungkin paman mu itu akan histeris."

Happy FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang