Kini Ave kembali duduk di sofa singlenya, ia memijat kepalanya sendiri, lagi dan lagi. Dan nampaknya setelah ini ia butuh obat sakit kepalanya.
Hanya ada satu hal yang ia keluhkan, terlalu banyak hal yang terjadi hari ini. Benar-benar membuatnya geleng-geleng tak percaya.
Lagi, membuat Evan kesana-kemari menggunakan pakaian kakaknya itu justru membuatnya sedikit bernostalgia. Daripada melihat Evan, justru Ave seakan-akan seperti melihat kakaknya sendiri dalam tubuh anak kecil yang seumuran dengan keponakannya sekarang.
'... Kuharap ini hanya sugesti ku saja. Tapi, semua ini terlalu janggal—'
Sampai akhirnya keluarlah Ava dari kamar Ave dan kembali merebahkan dirinya di sofa panjangnya itu. Ia langsung meraih remote TV nya dan mengganti channel TV dengan wajah yang terlihat sudah penuh rasa malas itu.
"... Kau kelelahan, Kak?"
"Bukankah sudah jelas."
Evan yang sudah selesai dengan kegiatannya di dapur, kembali ke sofa. Duduk di sebelah pamannya dengan membawa cangkir yang masih mengepul.
Menatap wajah kembar didepannya dengan heran. Tidak heran jika itu Ava, tapi Ave? Apa pamannya itu sakit?
"Maaf aku meminjam baju anakmu," ia menatap Ava lalu beralih ke Ave, "Paman butuh obat? Kau pucat."
"Oh... Maaf kalau begitu. Bajunya terlalu bagus sampai kupikir ini baju milik anaknya."
Lalu menyesap cokelat panas tanpa merasa berdosa. Sesekali irisnya melirik ke arah TV yang menyala. Entah acara apa yang ditampilkan.
Suara gemerisik angin akibat salju terdengar berisik diluar sana.
Setelah kenyang dan hangat, Evan tampak menyamankan diri sekarang. Tidak seperti biasanya, Evan lebih tenang, bahkan aura tidak bersahabat yang sering muncul, kali ini berkurang.
Ia mengambil toples kue diatas meja. Lalu memeluknya dan memakan isinya. Mirip Mikhail saat sedang bosan.
"Heran karena apa? Ada yang aneh?"
"Tidak... Aku hanya sedang memikirkan sesuatu yang mungkin diluar nalar, haha—"
Mustahil Ave bisa mengatakan keresahannya pada keponakannya, apalagi itu perihal Evan sendiri. Lebih tepatnya, soal keberadaan ayah kandung Evan sendiri.
'Tunggu sampai waktu yang tepat, sampai aku bisa menemukannya dan memberitahu padanya. Aku harus mendapatkannya.'
Di sisi lain, Ava justru menaruh remote TV nya begitu saja di atas meja, dan berbalik badan memunggungi mereka semua dibelakangnya.
Bahkan kini wajah Ava justru menghadap ke arah sandaran sofa yang ia tempati.
"Kau masih memikirkan hantu yang kuceritakan itu?" Evan menatap Ave sedikit lelah.
Yah, lagipula karena kejadian itu pula membuat Evan merasa lelah sekarang. Trauma, kaget dan takut, lalu masalah bloodlust, Evan sudah cukup menerima banyak hal hari itu.
Lalu irisnya beralih melihat kelakuan pria satunya. Ia facepalm, sedang apa coba? Tidur?
"Kalau mau tidur, kau bisa pakai kamarnya. Aku akan menonton disini, atau tidur dengan paman nanti."
"Bukan soal hantu, sungguh! Lagipula, paman mu ini tak takut dengan hantu! Hanya saja... Aku agak mudah kaget kalau benar-benar tak terduga olehku—"
Sebulir keringat mengalir dari pelipisnya, bahkan ia menggaruk pipinya sendiri yang sama sekali tak gatal itu.
Ave pun melihat ke arah Ava, posisi seperti itu—mungkin saja Ava sudah tertidur. Tapi, bagi Ave, Ava masih terbangun hanya saja ingin dianggap sedang tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Family
VampireNamanya Evan Gavrel Angelo, seorang vampir yang teridentifikasi sebagai vampir berdarah murni dengan kemurnian darah lebih dari delapan puluh persen-yang dimana, statusnya lebih tinggi dari vampir lain-. Lahir sebagai anak tunggal dari satu-satunya...