Evan Gavrel Angelo (3)

12 5 0
                                    

Evan menatap datar ke arah batu nisan di hadapannya. Ia tengah memperingati enam tahun kematian salah satu kerabat teman dekatnya, James.

Pemuda itu tidak menyukai pemakaman, banyak aura hitam yang menguar dari sana dan terkadang membuat pandangannya terhalangi.

"Kau selalu datang ke pemakaman setiap tahun?" Evan bertanya dengan nada datar khasnya.

James–pemuda bertubuh gempal yang baru saja menancapkan dupa– menatap Evan heran. Seingatnya, ayah dari Evan juga sudah meninggal, tidak mungkin mereka tidak melakukan ini kan?

"Ya, sering. Tapi, kenapa kau tidak tahu?"

Pemuda itu hanya menghela napas. "Kami hanya ke makam ayah saat acara Apsilankykite"

Apsilankykite adalah acara tahunan untuk melakukan pembersihan makam. Biasanya satu bulan sebelum tahun baru, setiap keluarga yang memiliki kerabat yang sudah meninggal akan datang ke makam, membersihkan makam dan membawa beberapa dupa sesembahan untuk orang yang sudah tiada.

James kembali menatap Evan heran, memang ia seorang vampir yang tidak terlalu memperhatikan tradisi atau keagamaan, tapi berbeda kasus jika James dan Evan bukanlah teman satu gereja.

Bisa dipastikan bahwa keluarga dari Evan adalah orang yang sangat memperhatikan agama. Jadi, normalnya berziarah seminggu sekali seharusnya menjadi hal wajar.

"Eh, apa ibumu seseorang yang tidak begitu– hekk!!"

Wajah James memucat saat melihat ekspresi Evan yang menggelap. Ia tahu bahwa topik mengenai ibunya adalah hal tabu. James mengangkat tangannya dan meralat, "MAKSUDKU KALIAN SEHARUSNYA MELAKUKAN ZIARAH SEMINGGU SEKALI, UNTUK MENDOAKAN MENDIANG! ITU MAKSUDKU!"

Evan mengelus dagunya, "Kenapa begitu?"

"Mereka bilang agar mereka yang ada di langit sana akan mendapatkan kebahagiaan sebelum bereinkarnasi."

Pemuda itu kembali diam. "Jadi mendoakan mendiang itu sangat penting...?"

James mengangguk, "bahkan kami sering berdoa di altar setiap hari."

"Altar?"

Pemuda berambut pirang itu terbelalak, "Kau bahkan tidak punya altar untuk mendiang ayahmu?!"

Lagi, Evan menggeleng.

"Ini hanya saranku, tapi coba minta ibumu untuk membuatkan altar untuk ayahmu! Kasihan mendiang tidak ada yang mendoakan."

-

"Jadi seperti itu..." Eli–Elios Archne– menanggapi cerita Evan sepulang dari pemakaman pagi tadi.

Saat ini, Eli dan Evan tengah berada di salah satu ruangan di belakang mimbar gereja. Setelah melakukan kegiatan pelayanan, keduanya memilih untuk mengobrol.

"Bagaimana cara membuat altar?" Evan bertanya lagi.

"Tidak harus, tapi akan lebih baik kalau memiliki foto mendiang dan lilin. Sebenarnya membuat altar tidak wajib selama kau selalu mendoakan mendiang." Jelas Eli tenang.

Tapi itu seperti tidak memberinya ketenangan sama sekali, ia bahkan tidak memiliki foto Victor.

"Apa ibuku bukan orang yang terlalu agamis ya?"

Eli hanya bisa menatap Evan yang sepertinya tersesat di pikirannya sendiri. Eli sudah mengenal Evan sejak kecil, Mikhaela sering membawanya ke gereja dan berdoa disana.

Tentu saja, Eli tahu seperti apa peringai Evan yang sebenarnya.

"Kau memikirkan sesuatu?"

"Apa... Aneh kalau di rumah kami tidak memiliki foto ayah?"

Eli tidak bisa berkomentar. Ia hanya bisa menepuk puncak kepala pemuda itu sembari menghela napas.

"Terkadang kenyataan itu tidak seindah yang terlihat." Pesannya.

Evan tidak mengerti.

-

Tuk... Tuk... Tuk...

Jari di ketukan ke atas meja dengan irama yang monoton. Otaknya terus menyambungkan semua lubang yang perlahan ia kuak. Semakin ia penasaran, semakin banyak lubang yang ia temukan.

Evan menggigit bibirnya sendiri.

'Makam biasanya memiliki aura kehitaman, tapi makam milik mendiang ayah tidak ada. Dengan kata lain, makam itu kosong.'

Lalu ia menggambar sebuah tali yang terhubung dengan angka dua di balik buku catatannya.

'Makam kosong berarti tidak ada isinya. Kemungkinan besar ayahku masih hidup. Terlebih, tidak ada foto dan bukti tentang eksistensi pria bernama Victor Albern. Berarti, siapa Victor Albern ini?'

Evan menancapkan pulpen ke arah coretan bertuliskan angka tiga disana. Ia menyimpulkan satu hal.

Ibunya berbohong tentang kematian ayahnya. Entah apa tujuannya, tapi yang pasti, ada kemungkinan ayah kandungnya masih hidup.

Ditengah pikirannya yang melayang entah kemana, sebuah spidol mengarah padanya. Ia terkesiap dan menangkapnya dengan sigap, bukan kurang aja, ini hanya refleksnya.

"EVAN GAVREL ANGELO! KAMU MASIH DALAM PELAJARAN SAYA!" 

Evan mengernyit, telinganya berdenging. Ia berdiri lalu membungkuk hormat,

"Maaf, pak..."

Guru separuh botak itu tampak masih emosi. Mungkin terpancing dengan wajah datar pemuda yang masih menatapnya dengan tatapan tanpa dosa.

"Kerjakan soal di depan!"

Iris merah tua Evan menangkap tulisan di papan tulis.

'6 x (a + 2) = 6 x (2a – 1). Berapakah nilai a? Mudah.'

Evan bangkit dari posisinya, dengan spidol yang masih ia genggam, ia menulis jawaban tepat dibawah soal yang dibuat oleh sang guru.

6 x (a + 2) = 6 x (2a – 1)
6a + 12 = 12a - 6
6a - 12a = -6 - 12
-6a = -18
a = 3

Padahal sang guru belum benar-benar menjelaskan. Dan soal itu hanya akan dijadikan contoh untuk penjelasan materi tadi.

Mereka diam, Evan bingung.

"Apa saya salah?" Tanya Evan bingung.

Guru botak itu hanya terdiam sebelum membenahi kaca matanya dengan canggung.

"L-lain kali jangan melamun!"

Evan mengangguk, lalu kembali ke kursinya.

Kembali ke persoalan tadi, Evan memilih untuk memastikan identitas Victor Albern ini.

Awal semester satu kelas sembilan, Evan memulai investigasinya terhadap ayah kandungnya.

-

Happy FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang