Hari itu terasa sangat melelahkan untuk Evan. Setelah belajar seharian tanpa tidur di malam sebelumnya. Lalu, aktif sejak pagi sampai sore membuat Evan merasa sangat lelah.
Terlebih setelah blood lust, seluruh tubuhnya terasa lemas. Seharian itu ia hanya ingin tidur. Bebauan yang sejak tadi ia cium membuat tubuh pemuda berumur 14 tahun itu menjadi rileks.
Hingga tanpa sadar, entah sudah berapa kali ia jatuh tidur. Padahal normalnya, Evan sangat kesulitan tidur di malam hari. Setelah pukul 2 malam, ia akan terbangun dan tidak bisa tidur sampai esok harinya.
Namun, hari itu pengecualian. Evan merasa ada sesuatu yang salah pada tubuhnya. Seolah, tubuhnya yang kesulitan menerima istirahat, kini sangat mudah beristirahat, yah, Evan tidak ingin mengeluh juga.
Tubuh Evan yang masih bersandar dalam kondisi tidur pulas di dalam mobil dibiarkan sejenak, Ave membiarkan pintu mobil itu terbuka, lalu ia kembali berjalan ke bagasi untuk mengambil lagi barang-barang yang sempat ia simpan.
Tak lupa, ia menelpon sang kakak kembar sembari memindahkan barang-barangnya kembali ke meja. Butuh beberapa kali ia mencoba menelpon kakaknya sampai akhirnya teleponnya di respon.
Suara Ava terdengar jelas dari telepon itu, "Katakan."
"Kembali sekarang, Kak. Ada urusan mendadak yang harus kita urus." Ave menjawabnya dengan cukup tenang.
"Aku mendapat laporan bahwa ada beberapa kasus pembunuhan belakangan ini, diduga ada vampir yang melakukannya dan itu masih membuat mereka resah. Pelaku belum diketahui, besok kita selidiki bersama."
Untuk beberapa detik, Ava terdiam sampai akhirnya Ave kembali buka mulut, "Perintah Mikhail."
Mendengar nama Mikhail–yang sebenarnya adalah atasan mereka–, Ava langsung menyahut. ".... Aku akan segera kembali."
Telepon dimatikan begitu saja oleh Ava setelah perintah di terima. Ave tak tersinggung akan hal itu, ia sudah terlanjur terbiasa. Toh, lagipula Ava memang tak bisa banyak bicara soal hal seperti itu di telepon.
Ave pun kembali menyimpan ponselnya di dalam saku celana. Ia kembali tersenyum sembari mengangkat tubuh Evan tanpa benar-benar mengganggunya.
Setelah urusannya selesai, ia menutup pintu mobil dengan kakinya. Lalu menutup pintu rumah setelah ia dan Evan masuk—Ave membawa Evan menuju kamar kosong yang beberapa waktu itu sudah tak terpakai. Yah, sebenarnya itu kamar yang digunakan Ava selagi Ava berada di rumah. Ia bisa meminta Ava untuk tidur di kamarnya nanti atau di sofa lagi.
Toh, ia tak yakin apakah kakaknya akan tidur atau tidak malam ini.
Evan merasa tubuhnya di angkat, meski begitu, ia tampak tidak perduli. Aroma tubuh yang familiar tercium di hidungnya.
Ini Ave. Ia tidak perlu bangun untuk memastikan. Sebaliknya, ia malah menyandarkan tubuhnya.
Evan sempat mendengar suara-suara, entah apa. Enggan merespon, ia masih mengantuk dan sedikit menolak untuk bangun.
Tepat saat udara dingin menghembus membuat Evan merinding dan merapatkan diri pada Ave.
"Ungh..." Evan terdengar mengigau.
Evan saat ini berpikir bahwa mungkin saat ini ia sudah sampai di rumah ibunya. Lalu dipindahkan ke kamar oleh Ave.
Begitu Ave telah merebahkan tubuh keponakannya di atas kasur, ia sempat tersenyum menahan gemas begitu menyadari Evan yang sempat merapatkan dirinya pada Ave.
Jarang sekali bisa melihat sisi menggemaskan Evan saat ia masih bangun.
Tepat, setelah tubuh Evan dibaringkan di atas kasur, Ave mengelus helaian kelabu milik keponakannya.
"Mimpi indah, Evan." Ucapnya dengan lembut sebelum akhirnya ia keluar dari ruangan tersebut dan menutup pintu kamar itu rapat-rapat.
Dengan begitu, Ave kini meregangkan tubuhnya sendiri. Hari ini memang cukup melelahkan baginya, sampai rasanya hari ini berjalan begitu lambat.
"Yosh, mari kita bereskan dulu makanan yang ku masak tadi~" Ia bersenandung.
Saat merasakan tubuhnya menyentuh kasur. Evan langsung mencari-cari bantal dan memeluknya erat.
Aroma mint menyeruak masuk ke hidungnya, tapi karena minimnya kesadaran dalam tubuh Evan, kini ia hanya memeluk bantal yang dingin.
Ia menguap sesaat sebelum akhirnya memunggungi pintu dan kembali tertidur.
Lagi, aroma mint yang kuat tercium. Sayangnya, Evan terlalu nyaman untuk sekedar membuka mata.
Ada mama dan pamannya, ia aman lagipula.
-
Iris merah gelap mengerjap. Alarm tubuh Evan langsung aktif di jam-jam tertentu sebenarnya, antara jam satu pagi, jam dua atau kadang jam setengah tiga. Namun, itu pasti selalu di tengah malam.
Biasanya, Evan akan melakukan berbagai aktifitas seperti makan, mandi, menonton atau lainnya. Namun, suara TV sedikit mengganggunya.
Mamanya tidak pernah menonton tv tengah malam. Ia biasanya bekerja di ruang tengah.
Lalu, Evan sadar, ia tidak berada di rumahnya.
"Paman?"
Evan berjalan membuka pintu, memanggil sang paman yang mungkin masih bangun tengah malam.
Lalu mengernyit. Ia teringat siluet hitam di depan TV pada malam bersalju. Evan membeku.
"Paman?"
Ava–yang entah sejak kapan duduk di ruang TV sembari menonton film action sembari mengunyah mangga–– mendengar suara yang mungkin bermaksud mencari Ave. Toh, Ava kenal suara ini, suara anak kecil yang ia temui tadi tadi. Entah apa maksud Ave yang justru membawa anak itu kemari dan membiarkannya menginap disini.
Tanpa menoleh dan masih terfokus dengan TV di depannya, Ava menghela napas panjangnya dan menjawab, "Paman mu sudah tidur."
Lagi, Ava menyuapkan satu potong mangga yang manis itu ke mulutnya.
Namun, mendengar jawaban, bukannya tenang, Pemuda berusia 14 tahun itu malah meraih payung di tepi pintu. Dengan gemetar. Lalu melempar payung itu ke arah Ava.
Tepat ke kepala.
Ia langsung berusaha memaksakan kakinya untuk menerobos masuk ke kamar sebelah, Kamar Ave.
Jangankan mengidentifikasi suara, berpikir pun Evan tidak mampu. Dengan keringat dingin, Evan mengguncangkan tubuh Ave dengan keras.
"Paman! Paman! Bangun! Hantunya ada disini!!! Pamaan!!!" Ucapnya panik.
Evan sedikit menyesal menceritakan masalah hantu di rumahnya tadi, dan sekarang hantunya muncul di sini. Mengejar mereka ke rumah pamannya.
Dalam kondisi kesadaran belum lengkap, rasional masih loading, Evan panik.
Evan selalu lemot saat baru bangun tidur.
Ave yang merasa tubuhnya diguncang dengan kasar seperti itu pun terbangun. Ia mengucek mata kanannya sendiri sebelum akhirnya ia melihat keponakannya yang tengah ketakutan.
"Uhhh... Ada apa... Evan..?"
"Hantu... Hantunya kesini! Dia di depan!" Evan terbata-bata. Terlihat wajahnya pucat pasi.
Masih dengan memegang lengan baju sang paman yang mungkin masih meloading keadaan.
Sementara sang hantu di ruang tengah hanya bisa menatap payung yang sepersekian detik tadi sempat dilayangkan ke arah kepalanya––dan tentu saja ditangkap sebelum kepalanya tercium mesra oleh payung–.
Ia tidak mengerti kenapa ia yang sedang asyik menonton sembari makan buah mangga tiba-tiba saja di sambit payung oleh tamunya sendiri.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Family
VampireNamanya Evan Gavrel Angelo, seorang vampir yang teridentifikasi sebagai vampir berdarah murni dengan kemurnian darah lebih dari delapan puluh persen-yang dimana, statusnya lebih tinggi dari vampir lain-. Lahir sebagai anak tunggal dari satu-satunya...