4. Langit yang Mendung

70 11 1
                                    

Hari masih pagi saat Angin menarik tangan Kinara dan pergi ke taman belakang sekolah.

"Inaya dibully,"ucap Angin. Kinara hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Lalu?"

"Kau kan yang sudah menyuruh anak sekolah untuk membully Inaya,"tuduh Angin. Kinara hanya tersenyum sinis.

"Mana?" Balas Kinara.

"Mana buktinya? Kau ada bukti kalau aku yang sudah membully Inaya?"

"Memang aku tidak memiliki buktinya, tapi aku yakin lo yang udah lakuin itu. Lo pengin kan kehidupan Inaya kaya neraka disekolahan ini,"ucap Angin.

"Lo nuduh gue hanya berdasarkan asumsi lo? Angin, Angin harusnya lo sadar. Buka mata lo, lo hanya mau lihat apa yang ingin lo lihat tanpa lo tahu yang sebenarnya. Gini yah, tanpa gue harus turun tangan pun kehidupan Inaya udah kaya di neraka," sinis Kinara. Angin hanya diam dengan amarahnya.

"Dan satu lagi. Lo kira ngapain gue seorang Ratu harus mohon-mohon buat pangeran bodoh kaya lo,"ucap Kinara.

"Kalau gitu lo enyah dari hadapan gue, jangan ganggu Inaya lagi dan batalin pertunangan ini!"perintah Angin.

Setelah mengatakan itu, Angin pergi menghampiri Inaya yang mengamati dari kejauhan. Berjalan bersama dan saling bergandengan tangan.

Mata Kinara memerah melihat Angin yang sedang menggoda Inaya. Berbalik dengan tangan yang mengepal. Sungguh dia tidak bisa melihat pemandangan ini setelah dicampakkan. Namun langkahnya terhenti oleh seseorang yang sangat familiar dimatanya. Seseorang yang sudah ditunggunya selama hampir satu tahun itu.

"Perlukah aku menghajarnya?"

****
Langit tidak terlalu terik saat Kinara menikmati angin dari atap gedung.
Seseorang datang dan menyodorkan es krim coklat kesukaannya.

Melihat ke orang yang memberikan es krim tersebut.
"Seperti biasa?"ucap seseorang itu. Kinara mengamati dia yang sedang membuka es krim untuknya. Ya, dia Langit Adhitama. Sosok Senior dan sahabatnya.

"Ini, supaya kau tidak sedih,"kata Langit sambil menyodorkan es krim coklatnya. Kinara mengambil es krim coklatnya dan mengalihkan perhatiannya dengan memandang langit biru diatasnya.

"Menangis aja, tidak usah ditahan. Sesak kan rasanya,"Kinara melihat Langit yang tersenyum menenangkan.
Air mata Kinara menetes tanpa dia sadari.
Langit mendekat dan memeluknya. Dia menepuk punggung dan kepala Kinara untuk meneangkannya.

Beberapa lama sampai tangisan Kinara berhenti.
Keduanya duduk di bangku yang ada di atap itu.

"Haruskah aku memukulnya?"tanya Langit.

"Tidak usah. Jika ada yang harus memukulnya itu adalah aku,"jawab Kinara.

"Bagaimana kau bisa bertunangan dengan pangeran bodoh itu?"heran Langit. Setahunya tipe Kinara bukanlah seperti Angin. Gadis tangguh seperti Kinara sangat berbeda jauh dengan Angin.

"Dia cinta pertamaku,"jujur Kinara.

"Apa?!" Langit terkejut dengan pengakuan Kinara.

"Kami bertemu saat berumur 10 tahun. Orang tuanya terutama tante Laras adalah sahabat ayah. Dari sana kami menjadi dekat dan menjadi teman sepermainan. Satu tahun yang lalu setelah kau pergi ke Korea kami dijodohkan. Kami awalnya menerimanya dan hubungan kami baik-baik saja, walaupun Angin menganggapku hanya sebagai teman. Sampai Inaya datang dan Angin jatuh cinta. Aku masih mempertahankan pertunangan ini karena aku tidak mau mengecewakan tante Laras,"ungkap Kinara.

"Lalu setelah kau dicampakkan seperti tadi kau masih akan mempertahankan pertunangan itu?"tanya Langit.

"Entahlah, mungkin aku akan memutuskannya. Sudah percuma untuk mempertahankannya,"jawab Kinara.

"Sepertinya keputusanku dengan memasukkan Inaya ke sekolahan ini salah,"sesal Kinara.

Kinara menghela nafas, berusaha menenangkan dirinya. Fokusnya beralih menatap Langit. Dia tahu jika bukan hanya dirinya saja yang sedang mengalami masa sulit.

"Kau baik-baik saja?"tanya Kinara dengan sorot sedih dari matanya. Langit tersenyum dengan terpaksa. Yah, dia tidak bisa berpura-pura di depan Kinara.

"Yah seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja," ucap Langit dengan susah payah.

"Aku mendengar beritanya. Tidak usah berpura-pura didepanku,"lirih Kinara sambil menunduk.


****
Langit pulang ke rumahnya saat malam mulai tiba. Ibunya sudah menunggunya di ruang tamu.

"Setelah les privat, ibu mendaftarkanmu di les persiapan untuk masuk kuliah kedokteran. Kau bisa mulai dari hari besok. Dan akhir pekan kau ikut ayahmu ke rumah sakit, lihat bagaimana ayahmu mengurus rumah sakit itu!"

"Ibu cukup! Apa tidak cukup aku belajar 12 jam dalam satu hari hanya untuk memenuhi ambisi ibu. Dan sekarang ibu mau menambah lagi?" Kata Langit tidak habis fikir.

"Aku tidak bilang akan masuk ke kedokteran. Itu hanya keinginan ibu dan ayah," kata Langit dengan tenang. Ia hendak pergi ke kamarnya.

"Kenapa kau bersikap seperti ini?"bentak ibunya.

Ketenangan Langit mulai goyah.

"Baru sekarang ibu bertanya mengapa aku seperti ini? Ibu tidak pernah sekalipun bertanya keinginanku, bertanya kenapa aku tidak ingin pergi ke sekolah kedokteran, mengapa aku memakan semua obat tidur ayah sekaligus. Haruskah aku menjawabnya sekarang? Ibu ingin mendengar jawabannya?" Kata Langit dengan menahan perasaannya.

"Tidak, nanti saja,"jawab ibunya tanpa menatap Langit.

Hati Langit semakin terluka.

"Kapan? Saat aku sudah tidak ada?"tanya Langit dengan lirih.

"Apa yang kau bicarakan?! Masuk ke kamarmu dan belajar!" Perintah ibunya dengan sedikit gemetar.

****
Di kamar, Langit dengan langkah gontai menuju kamar mandi. Disana matanya tertuju ke pisau cukur miliknya. Pandangan matanya mulai buram. Tangannya mencoba mengambil pisau itu dan mengarahkannya ke pergelangan tangannya.

Namun, dia mulai ragu.

Tidak
Tidak sekarang
Ada senyum seseorang yang harus dia lihat terlebih dahulu.
Akhirnya pisau digenggamannya hanya membuahkan sebuah garis goresan.

TBC

Gimana dengan bab 4 ini? Semoga suka🤗
Lanjutin bacanya.

Ilustrasi karakter pendukung yang muncul di bab ini :

Kim Lily
~Ibu Langit~

Mahkota RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang