11. Pemakaman

40 5 2
                                    

Sebuah televisi di ruangan yang remang remang menayangkan berita tentang kejadian itu. Cahaya rembulan tidak cukup untuk menampak pemilik ruangan itu. Bingkai bingkai foto seorang gadis bersama dua orang laki laki tersenyum lebar menghadap kamera terjejer rapi di nakas kayu itu.

Piala dan sertifikat berjejer rapi dalam satu lemari kaca disana. Sebuah nama dengan penghargaan di bidang seninya membuat semua orang takjub jika melihatnya.

Anna Kim. Nama itu yang tertera di puluhan sertifikat dan piala itu. Cucu dari pemilik perusahaan raksasa di negara gingseng yang saat ini sedang meringkuk ketakutan di pojok ruangan.

Rambut acak-akan, riasan yang luntur, serta air mata yang terus mengalir. Racauannya sekilas membuat orang yang melihatnya berfikir dia tidak waras.

"Tidak! Tidak tidak tidak... aku harus bagaimana? Haruskah bersembunyi?"teriaknya frustrasi sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

"Tidak, jika aku bersembunyi semakin mudah mereka menyingkirkanku,"putusnya setelah tenang.

***

Berita terbaru
Seorang siswi ditemukan tidak bernyawa tergantung di sebuah gedung SMA Permata Jaya. Diduga bunuh diri, melompat dari atap gedung dan berakhir tersangkut tali.

Polisi akan melakukan penyelidikan dan autopsi setelah pihak keluarga mengizinkan. Pihak sekolah maupun yayasan belum buka suara terkait hal tersebut.

Sinta melempar surat kabar itu dengan kasar.

"Jadi bagaimana?"tanya Sinta dengan tenang. Sang putra hanya terdiam.

Wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu menghela nafas kesal.

"Bisa-bisanya kejadian ini terjadi di sekolahan kita,"keluh Sinta sebal.

"Dia yatim piatu kan? Jadi tidak usah melakukan autopsi dan tutup kasus ini,"perintah Sinta yang membuat Nathan terkejut.

"Bu! Bisa saja dia dibunuh, kita tidak bisa melakukan itu. Kalau autopsi ditiadakan akan banyak kritikan dari media dan masyarakat,"kata Nathan menolak perintah ibunya.

Sinta terlihat bimbang, dan menghela nafas tipis.
"Baiklah terserah kau saja! Bagaimana keadaan Kinara?"tanya Sinta menanyakan keadaan cucunya.

"Dia masih terpukul. Aku pamit untuk mengurus semuanya,"jawab Nathan dengan tenang. Dia bangkit dan keluar dari ruangan itu.

***

Tok
Tok
Tok
Kenan membuka pintu ruang kerja Nathan dengan segelas teh herbal ditangannya.

"Yah, jadi gimana? Laila sepertinya teman dekat Kinara?"tanya Kenan sambil meletakkan teh herbal itu di meja Nathan.

"Terima kasih,"ucap Nathan sambil tersenyum tipis, dia menghela nafas sejenak.

"Polisi yang akan mengurusnya. Kita hanya menunggu hasilnya,"lanjut Nathan.
Tatapan matanya tertuju ke foto keluarga yang ada di mejanya.

"Yang aku khawatirkan adalah Kinara. Dia pasti sangat terpukul dengan kepergian sahabatnya. Bagaimana keadaannya sekarang?"tanya Nathan

"Dia baru saja tertidur setelah dokter Andi memberikannya obat. Bukankah pemakamannya dilaksanakan lusa?"tanya Kenan yang diangguki Nathan.

***

2 hari kemudian.

Pemakaman Laila dilakukan secara sederhana. Hidup tanpa orang tua dan sanak saudara membuat pemakaman itu semakin memilukan. Kinara hanya bisa berdiri menyaksikan semuanya.

Untuk terakhir kalinya Kinara melihat sahabatnya sebelum dikubur di tanah untuk selamanya. Awan hitam mulai menyelimuti langit, Kinara melihat ke sekeliling pemakaman. Teman-temannya berusaha terlihat tegar untuk mengantarkan kepergian salah satu dari mereka. Sekilas Kinara melihat seseorang di ujung pemakaman itu. Seorang pria berpakaian hitam memakai topi serta masker, disampingnya seorang perempuan berdiri memakai dress berwarna hitam.

Matanya perih, mungkin karena terlalu banyak menangis Kinara memutuskan mengabaikan mereka. Tanpa Kinara sadari kedua sosok itu terus menatap Kinara dengan tajam. Salah seorang disana menyadari hal itu. Dia bergerak mengejar kedua sosok itu yang pergi dari sana.

Air hujan mulai turun, satu persatu mulai meninggalkan pemakaman. Kinara tetap bergeming. Saat Aruna akan mengajak Kinara pergi, Nathan menghentikannya. Membiarkan Kinara disana untuk beberapa saat.

Dengan langkah gontai dia mendekati batu itu. Tubuhnya luruh bersama dengan air matanya. Tetesan air hujan menyatu dengan air matanya.

Kedua tangannya mengusap wajahnya dengan kasar. Dia tersenyum pada batu nisan dingin di depannya dan mulai berbicara dengan lirih, "Maafkan aku, seharusnya saat itu aku menemanimu. Sepertinya disini kita harus berpisah. Impian dan cita-cita kita mungkin sampai disini saja. Walaupun kau sahabat yang paling manja dan kekanak-kanakan tetapi aku menyayangimu,"
Kinara terkekeh kecil.

"Terima kasih untuk semuanya, aku pasti akan menemukan pembunuhmu,"kata Kinara dengan penuh tekad.

"Aku akan sering menjengukmu,"lanjutnya, Kinara segera berbalik dan meninggalkan pemakaman membawa duka serta air matanya.

TBC

Mahkota RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang