Kepindahan Rayyan ke sekolah yang sama dengan Zayyan, sudah lama direncanakan. Ray yang paling antusias, ketika akhirnya akan bisa bertemu setiap saat dengan sang saudara kembar. Namun, siapa sangka kejadian nahas memupus kebahagiaan Rayyan, bahkan sebelum ia dipertemukan dengan Zayyan.
Hari ini, ada beberapa berkas yang harus Rayyan serahkan ke Midas International School, sehubungan dengan kepindahannya. Dari pihak sekolah sebenarnya sudah memberi kelonggaran, boleh datang ke MIS kapan saja, karena tahu keluarga Wiratama sedang berduka. Namun, atas keinginan Rayyan sendiri, ia pun meminta sang kakak untuk mengantar ke sekolah.
"Yakin mau ke dalam sekarang?" Kaynan bertanya memastikan, ketika kendaraan roda empat yang ia kemudikan sudah terparkir di halaman Midas International School.
"Ya." Rayyan menjawab cekak.
Melihat respon sang adik yang minim, si sulung hanya bisa menghela napas. Sejak Zayyan dinyatakan meninggal, Rayyan seolah kehilangan cahaya. Adik termuda yang biasanya ceria, menjadi lebih pendiam. Tentu saja Kaynan merasakan kesedihan yang sama. Namun, ia tahu betul Rayyanlah yang mendapat pukulan paling besar.
"Kita langsung ke kantor kepala sekolah," ujar Kaynan yang diangguki Rayyan.
Keduanya pun keluar dari kendaraan dan berjalan beriringan di sepanjang selasar menuju ruang kepala sekolah. Map berisi berkas kepindahan milik Rayyan, berada di tangan sang kakak.
Kehadiran mereka mencuri perhatian beberapa siswa yang kebetulan sedang melakukan pelajaran olahraga di lapangan utama. Jerit histeris sempat terdengar beberapa detik, diikuti gaduh dari suara-suara yang saling sahut. Membuat Rayyan mau tak mau mendengar lontaran dari mulut-mulut yang membuat ribut tersebut.
"It--itu ... itu Zayyan, 'kan?!" seru sebuah suara.
"Ngaco! Jelas-jelas Zay udah meninggal," balas siswa lainnya.
"Denger-denger ... dari sebelum Zay kecelakaan, saudara kembarnya mau sekolah di sini. Pasti dia kembaran Zayyan," sahut seseorang lagi.
"Mirip banget, sumpah!" respon yang lain.
Sementara itu, yang menjadi pusat perhatian merasa risi akan hal demikian. Remaja yang baru memasuki usia tujuh belas tahun tersebut menarik lengan sang kakak, yang berjalan satu langkah di depannya.
"Kenapa?" Tanpa menghentikan langkah, Kaynan menoleh ke arah adiknya.
"Bukan apa-apa." Rayyan hanya menjawab singkat, dan menyejajarkan posisi dengan sang kakak.
"Karena mereka?" Kaynan yang peka, menunjuk menggunakan pandang mata, ke arah kerumunan siswa berseragam olahraga yang menatap mereka.
"Hm. Mereka ngira gue ini Zay," tutur Rayyan.
Mengetahui adiknya tak nyaman, Kay hanya menanggapi dengan senyuman. Kemudian menarik bahu Ray dan berjalan dengan langkah lebar agar lebih cepat tiba di tujuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANCING WITH THE DEATH
RandomWondering what it's like to dance with death? Well, reading this book is the perfect way to find out. *** Biananta bukan orang jahat. Sungguh. Jadi, tolong percayalah. Dia tak sengaja melakukannya. [drama, friendship, brothership, family, sick story...