Biananta kecil memberontak ketika hampir ditangkap oleh Praja. Dengan tubuh yang nyaris tak bertenaga, ia yang tak tahu harus lari ke mana justru naik ke lantai dua. Nahasnya, Praja memanggil satu anak buahnya dan berhasil menangkap Biananta. Bocah yang sudah tak berdaya itu pun pingsan dalam sekali tampar.
Suara gaduh yang tercipta, mengundang atensi dari satu bocah lain di sebuah kamar. Rayyan Wiratama, yang ternyata tidak ikut pergi bersama sang ibu dan si saudara kembar. Anak yang tadi disuruh tidur siang oleh ibunya itu pun bergegas bangun dan mencari dari mana asal suara yang mengganggu istirahatnya.
Hingga kaki kecil milik bocah yang sering dipanggil Yayan itu berlari ke lantai atas dan menemukan satu ruangan dengan pintu terbuka. Di sana, ia melihat teman bermainnya yang bernama Biananta diikat oleh ayah Rayyan. Mulut sang teman dilakban. Rayyan pikir anak yang akrab dia panggil Tata itu sudah pulang. Tadi setelah bermain, anak itu mengeluh lelah dan ingin lekas pulang. Mengapa sekarang malah diikat oleh papanya?
"Pa? Tata kenapa diikat?" Dengan polosnya Rayyan bertanya.
Praja terkejut dan menoleh.
"Anak sialan!" umpatnya. "Kenapa kamu ke sini, hah? Bukankah aku sudah menyuruh ibumu membawamu pergi? Kamu juga ingin mati?" sentaknya kemudian.
Rayyan yang melihat wajah murka ayahnya pun mundur perlahan, tetapi tubuh kecilnya menabrak kaki kokoh milik salah satu anak buah papanya.
"Bawa dia. Aku akan urus Bajingan Cilik ini dulu. Baru nanti akan aku habisi Anak Sialan itu." Praja memerintah sang anak buah.
Pria dewasa di belakang Rayyan terkejut. Praja sudah benar-benar gila. Bukan hanya Darian dan Biananta yang ingin dia habisi, tetapi anak kandungnya juga? Praja Wiratama sudah tak waras.
Rayyan menggeleng kuat. Dia tahu sesuatu yang buruk akan terjadi. Teman bermainnya akan mati jika tidak segera ia bawa pergi. Maka, nama sang teman pun ia panggil.
"Tata!"
Tak ada reaksi yang Biananta berikan. Temannya itu entah masih hidup atau tidak, Rayyan tak paham.
"Jangan berteriak, Anak Sial!" amuk Praja.
"Cepat bawa dia pergi dari sini, Bangsat!" Pria gila itu beralih melotot ke anak buahnya. Dan segera saja oti itu menarik tubuh Rayyan menjauh.
"Tata, Bangun Tata! Pergi dari sini!" Bocah yang sudah fasih mengucapkan huruf 'R' itu berteriak lagi sementara tubuhnya diseret paksa.
"Tata, bangun! Atau aku marah sama kamu!" serunya lagi, tetap tidak Tata tanggapi.
"Tata! Pergi, cepetan! Jangan cuma diam. Cepat, Ta!"
Lagi dan lagi berharap Biananta membuka mata. Namun, tubuh kecilnya lebih dulu diseret keluar meninggalkan kamar. Tanpa bisa berbuat lebih untuk menyelamatkan temannya.
Bian yang perlahan sadar, justru kembali mendapat siksa. Tubuh kecilnya dipukul, dijambak, juga tak luput dari tendangan yang dilakukan Praja.
Sementara itu, di tempat lain, anak buah Praja sibuk menenangkan Rayyan. Dia merasa iba dengan putra bungsu Praja yang harus melihat kekejaman ayahnya. Di samping itu, dia merasa tak boleh tinggal diam. Dia yang merasa tak bisa menghentikan praja seorang diri pun berpikir harus menghubungi seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANCING WITH THE DEATH
RandomWondering what it's like to dance with death? Well, reading this book is the perfect way to find out. *** Biananta bukan orang jahat. Sungguh. Jadi, tolong percayalah. Dia tak sengaja melakukannya. [drama, friendship, brothership, family, sick story...