Biananta tak pernah mengenal ayahnya. Tak pernah bermanja dalam hangat peluknya, apalagi sampai menghabiskan waktu bersama. Karena pria yang seharusnya ia panggil dengan sebutan Papa tersebut, telah meninggal dunia bahkan sebelum Bian dilahirkan.
Ya, setidaknya hal seperti itulah yang tertanam dalam benak Biananta. Sebagaimana dahulu Raline pernah bercerita ketika anak itu bertanya tentang sang ayah.
Tak memiliki sedikit pun ingatan tentang ayahnya, membuat Bian percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan sang Mama. Karena nyatanya, anak itu hanya mengenal wajah ayah dari foto yang Mama simpan. Sama sekali tak ada kenangan tentang Papa, dalam ruang ingatan di otak Biananta.
Raline berkata, Darian Prayudha-ayah Bian-meninggal dunia karena kalah dengan sakitnya. Kelainan yang sama, seperti yang diturunkan pada sang putra, Syndrom Marfan.
Wanita yang melahirkan Biananta itu berkata bahwa terlalu banyak komplikasi yang terjadi dalam tubuh suaminya. Sehingga raga rapuh itu tak lagi mampu bertahan, dan akhirnya menyerah pada keadaan.
Biananta percaya?
Tentu saja.
Karena derita yang sama pun ia rasakan akibat Syndrom Marfan. Sakitnya tak tertahankan jika seluruh organ penting dalam badan diserang secara bersamaan. Tak heran jika ayahnya akhirnya menyerah.
Namun, kejadian hari itu seakan membuka sebuah pintu yang telah lama terkunci rapat. Perlakuan Praja Wiratama dan kejadian buruk yang Bian alami bersama Arlan, Rayyan, juga Kaynan, membawa sebuah ingatan yang pernah dengan sengaja ia kubur dalam-dalam.
Kini, ingatan masa kecil itu muncul ke permukaan.
Tak tanggung-tanggung. Bukan dengan cara perlahan, tetapi semua seakan mengentak kuat, mendobrak dinding otak tanpa permisi pada sang empunya. Masuk paksa, dan menjejali dengan berbagai peristiwa lama. Dan nyaris membuat Bian tak kuasa menerima semuanya.
Sebenarnya, Biananta tak serta-merta kehilangan ingatan masa kecilnya karena sebuah peristiwa. Justru, otak anak itu selalu memutar kejadian buruk yang ia saksikan hingga membuatnya mengalami gangguan mental. Menggila, mengamuk tak jelas, menangis keras, hingga berujung hilang kesadaran dan harus menjalani perawatan ekstra karena kondisi Biananta yang 'istimewa'. Hal buruk pada psikisnya, berpengaruh banyak pada keadaan fisik yang memang sudah tak sehat sejak awal.
Jika bukan hal demikian, maka Bian kecil hanya akan diam seribu bahasa, tak melakukan apa-apa selain terpaku dengan tatapan kosong, seolah raga kecilnya tak bernyawa. Sekali saja ditegur, anak itu akan histeris ketakutan. Dan lagi-lagi, harus berujung dengan kondisi yang drop parah. Bahkan, berkali-kali Raline nyaris kehilangan Biananta.
Situasi tersebut membuat semua mengira bahwa Biananta menyimpan trauma berat pasca kecelakaan yang dialami anak itu bersama sang ayah. Kecelakaan hebat yang menewaskan Darian Prayudha.
Memang benar, Biananta mendapat trauma hebat. Namun, perkara utama yang menjadi penyebab, bukanlah kecelakaan yang dimaksudkan. Karena nyatanya kecelakaan itu pun hanya sebuah rekayasa dari seseorang yang menyimpan dendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANCING WITH THE DEATH
RandomWondering what it's like to dance with death? Well, reading this book is the perfect way to find out. *** Biananta bukan orang jahat. Sungguh. Jadi, tolong percayalah. Dia tak sengaja melakukannya. [drama, friendship, brothership, family, sick story...