Ini adalah hari pertama Biananta masuk sekolah setelah beberapa hari izin karena sakitnya. Remaja itu tengah mematut diri di depan cermin, dengan seragam Midas High School yang sudah rapat membalut badan.
Tak jauh berbeda dengan seragam siswa SMA pada umumnya, karena ini hari Selasa. Hanya kemeja putih bersih yang dikombinasi dengan kerah abu-abu sewarna celana panjang yang dikenakan, serta garis serupa pada lis saku juga ujung lengan. Sederhana saja, tak seperti seragam hari Senin yang wajib lengkap dengan blazer dan dasi, atau hari lain yang berbeda style lagi.
Kali ini Biananta enggan memakai dasi yang terkadang membuatnya sesak. Bahkan, mata kancing teratas kemejanya saja tak ia kaitkan, dan ia biarkan terbuka. Menampilkan leher dalaman kaus hitam yang ia kenakan. Setelahnya, Bian melapisi seragamnya dengan jaket yang tak terlalu tebal.
Bian bukan siswa teladan, bukan juga murid berandal. Dia biasa-biasa saja, bahkan mungkin tak banyak yang mengenalnya di sekolah. Kecuali teman sekelas, tentu saja. Namun, lain lagi jika dilihat dari sudut pandang para staff pengajar. Meski tak pernah ada yang mengumbar kondisi Biananta, seluruh guru tahu jika anak ini istimewa dengan Marfan Syndrome yang diidapnya. Sehingga sudah menjadi rahasia umum bagi para guru, untuk memperlakukan Bian tak sama dengan siswa lainnya.
Melirik smartwatch di atas meja, Bian pun meraih benda tersebut dan memakainya. Namun kali ini, ia memilih menonaktifkan seluruh fitur canggih dalam jam tangan pintar miliknya. Mulai dari sekarang, ia merasa akan banyak mendapatkan kejutan yang pasti membuat kerja jantungnya meningkat. Bian tidak ingin terganggu dengan berisiknya smartwatch yang pasti akan mengirim alarm peringatan untuknya jika berada dalam keadaan darurat. Untuk kali ini, benda itu benar-benar hanya berfungsi sebagai penunjuk waktu saja.
Biananta teringat ketika kemarin ia bertemu Ray di makam Zayyan. Anak itu begitu antusias, saat Bian mengaku sebagai teman Zayyan.
"Hhh ... teman? Kenal juga enggak," kekeh Bian, mencibir kebohongan yang ia buat.
Menoleh ke sisi kanan, Biananta lantas bergerak perlahan, berlutut di samping ranjang. Menatap nanar pada beberapa laci di bawah kasur busa tempat tidurnya. Dahulu, ia meminta model dipan seperti ini karena melihat serial bocah kembar dari negeri seberang yang memiliki tempat tidur serupa dan lacinya digunakan untuk menyimpan berbagai mainan.
Beruntung, sang mama mau mewujudkan keinginan Bian. Dia bisa menyimpan barang-barang miliknya di sana, sehingga tidak berantakan di meja ataupun berserakan di sudut kamar.
Menoleh ke belakang, Bian sekadar memastikan bahwa pintu dalam keadaan tertutup rapat. Setelah itu, ia tarik salah satu laci di depannya hingga terbuka. Ada beberapa barang lama milik Bian, seperti buku dan foto dalam pigura. Tangannya terulur, mengambil sesuatu di antara barang tersebut. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, Bian pun menarik tangannya keluar.
Ditatapnya sebuah ponsel dengan layar retak di tangan kanan. Benda segi empat itu adalah milik Zayyan yang ia simpan, alih-alih dimusnahkan.
Bian meneguk ludah serta beberapa kali membasahi bibirnya. Dengan dada berdebar, dia bermaksud mengaktifkan benda pipih di tangan. Namun, seberapa dalam dan lama pun ia menekan tombol powernya, benda tersebut tak mau menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANCING WITH THE DEATH
RandomWondering what it's like to dance with death? Well, reading this book is the perfect way to find out. *** Biananta bukan orang jahat. Sungguh. Jadi, tolong percayalah. Dia tak sengaja melakukannya. [drama, friendship, brothership, family, sick story...