Kelopak dengan bulu mata tebal dan lentik milik Biananta, perlahan terbuka. Mengerjap sesaat guna menyesuaikan dengan cahaya yang menerobos retina, lalu seketika terbelalak saat mengingat wajah sang mama dan kejadian di kantor kepolisian. Berniat untuk segera bangkit dari posisi berbaringnya, tetapi untuk sekadar menggerakkan badan saja ia tak bisa.
"Ugh ...." Bian merintih kecil di balik masker oksigen yang menutup area hidung dan mulutnya. Ia sadar sedang berada di rumah sakit sekarang.
"Ma ... Mama ...." Sebisa mungkin, Biananta mengeluarkan suara memanggil ibunya. Kening remaja itu mengernyit dalam, ketika untuk berbicara saja, ia tak punya cukup tenaga.
Bola mata Biananta bergulir menelusuri ruangan yang sepi. Hanya bunyi beep dari elektrokardiograf yang mampu tertangkap indra pendengar. Selebihnya, hanya desing halus dari pendingin ruangan.
"Ma ...."
Masih tak mendapat sahutan untuk panggilan kedua, Bian memilih menyerah. Hanya dengan mengucap satu kata saja, rasanya begitu banyak tenaga yang harus ia kerahkan. Bahkan kini, tubuhnya terasa luar biasa lemas.
Pasrah, akhirnya Bian memilih kembali memejamkan mata. Akan tetapi, belum juga detik berganti, suara pintu ruang rawat yang digeser terbuka dan ditutup kembali, berhasil menarik atensinya. Sepasang netra sayu itu pun kembali terbuka.
Bian pikir, mamanya yang datang. Ternyata Arlanlah yang berjalan memasuki ruangan. Anak itu bahkan masih mengenakan seragam sekolah.
"Gue chat enggak dibales, gue telepon enggak diangkat. Gue samperin ke rumah enggak ada. Ternyata ngungsi ke sini lo," cerocos Arlan, seraya meletakkan tas begitu saja di dekat kaki ranjang, lalu duduk di tepi brankar.
Biananta tak berniat menyahut cerocosan Arlan. Selain karena terlalu lemas, ia tahu temannya itu tak butuh jawaban.
"Jadi, kenapa lagi sekarang? Ini pasti karena sakit dari minggu lalu lo tahan. Malah drop gini sekarang," ucap Arlan. Menatap datar ke arah sang teman, lalu memperhatikan monitor elektrokardiograf yang terhubung melalui kabel-kabel elektroda pada dada Biananta.
"Mama mana?" Tak menanggapi ucapan Arlan, Bian justru menanyakan keberadaan ibunya seraya bergerak sangat pelan melepas masker oksigen di wajah.
"Gak usah sok-sokan. Lo masih butuh ini." Arlan menahan pergerakan Bian. Menyingkirkan tangan sang teman, seraya membenarkan posisi masker oksigen yang hampir terlepas.
Bian yang tak suka dengan apa yang dilakukan oleh Arlan, memberi tatapan tajam yang hanya berbalas kekehan ringan dari remaja yang sejak zaman Sekolah Dasar selalu satu kelas dengannya tersebut.
"Kayaknya Mama Raline mau pergi. Gue ketemu tadi di lobi," jawab Arlan.
"Sama siapa?" Lagi, Bian bertanya lemah dalam suara teredam oxygen mask.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANCING WITH THE DEATH
RandomWondering what it's like to dance with death? Well, reading this book is the perfect way to find out. *** Biananta bukan orang jahat. Sungguh. Jadi, tolong percayalah. Dia tak sengaja melakukannya. [drama, friendship, brothership, family, sick story...