22. Keadaan yang Sulit Dipahami

1.6K 193 22
                                    

"Bangke!" umpat Kaynan kesal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bangke!" umpat Kaynan kesal.

"Lo yang bangke, Bang. Untung mobil itu ngehindar. Kalau enggak, kita yang remuk. Lo enggak lihat? Dari segi fisik mobil aja, yang kita pakai ini kalah gede. Kalau sampai terjadi tabrakan, udah pasti mobil kita yang ringsek duluan. Lo enggak mikir ke sana, apa?" sembur Rayyan yang sempat tegang di samping sang kakak.

"Tapi siapa pun di dalam sana itu orang gila, Ray. Gue enggak bisa diem aja," balas Kaynan.

"Ya, tapi enggak dengan cara gila yang sama. Seenggaknya, lu perlu mikirin keselamatan yang lain." Sang adik menyambar lagi. Napasnya terengah karena emosi.

Dua kakak beradik itu masih saja beradu mulut di jok depan. Sementara itu, Bian di kursi penumpang bagian belakang, justru terpaku di tempat. Beberapa detik yang lalu, ia pikir akan terjadi tabrakan hebat. Keadaan Arlan di sampingnya juga tak jauh berbeda. Remaja itu seolah kaku, tak sedikit pun melakukan pergerakan. Ekspresi wajahnya masih tegang.

Jujur, Biananta sudah bersiap untuk segala kemungkinan. Jika harus berhadapan dengan malaikat maut pun, ia tak lagi gentar. Namun, nyatanya mobil hitam di depan sana justru menghindar, di saat jarak hanya tersisa sekian meter saja jauhnya. Dan sialnya, Kaynan yang tak memperhitungkan hal demikian, sempat hilang kendali dan kini mobil mereka menabrak beton pembatas.

Karena sejak tadi fokusnya terpaku pada aksi berani Kaynan yang ia dukung sepenuhnya, Bian sampai tak peduli pada jantungnya yang kembali berulah.

Kini, saat hal yang membuat tegang tak lagi ada di depan mata, Biananta justru merasakan sengatan menyakitkan yang begitu menyiksa.

Sial. Bahkan, obat yang ia telan sebelumnya tak memberi pengaruh banyak. Rasa sakit yang sempat berkurang kini justru menyerang tanpa ampunan. Ditambah sakit kepala hebat yang tiba-tiba hinggap, pasca benturan cukup kuat yang ia terima. Karena meski sudah sempat memasang sabuk pengaman, guncangan mobil yang keras membuat tubuhnya sedikit terpelanting juga hingga kepala Bian terbentur sisi kendaraan.

Kening Biananta mengernyit, bersamaan dengan tangan kanan yang menekan dada dan tangan kirinya mencengkeram kepala. Kilasan kejadian yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, mendadak menyambangi benak membuat kepalanya serasa ingin meledak.

Wajah anak kecil yang ia panggil dengan nama Yayan kembali muncul dalam ingatan. Tak hanya itu, raut ramah yang sekejap berubah marah milik Praja Wiratama pun mengambil peran. Senyuman ibunya yang mendadak berubah menjadi tangisan, juga lambaian tangan seorang pria dewasa yang ia kenal sebagai 'Papa'.

Lalu semua begitu cepat bergantian mengisi ruang sempit di kepala. Bagai kaset rusak yang terputar acak, menampilkan kenangan-kenangan yang sempat hilang hingga kini memenuhi bilik ingatan.

"Tata, Sayang. Papa pergi dulu, ya." Kalimat halus itu terlontar diikuti dengan usapan lembut di puncak kepala Biananta. Rasanya begitu nyata. Dan lagi, dia dipanggil dengan nama Tata, seperti ingatan suram yang sebelumnya.

Bagaimana bisa? Bukankah ayahnya meninggal dunia bahkan sebelum ia dilahirkan? Setidaknya, cerita itulah yang selama ini ia terima. Lalu, mengapa Bian bisa mendapat ingatan demikian? Sang ayah kandung membelai lembut kepala dan memberi kecupan di sana. Dan lagi-lagi hal itu terasa begitu nyata. Menghantar getar aneh yang menyambangi jiwa hingga menimbulkan sesuatu yang membuncah di dada, menuntut untuk diluapkan.

Selain itu semua, kejadian di mana tubuh kecilnya dilempar ke dalam kolam renang, kembali merenggut fokusnya. Di detik berikutnya, Bian merasa pernah berada pada situasi yang sama, yaitu kecelakaan mobil yang membuat kepalanya sakit luar biasa. Namun, dia belum mampu sepenuhnya mengingat, kapan dan di mana ia mengalami itu semua.

Biananta tak tahan. Semua sangat memusingkan hingga kepalanya terasa akan pecah. Tanpa sadar, putra semata wayang Raline Damarish tersebut menggeram dalam, bahkan kelepasan berteriak.

"Argghhh!!!"

Bersamaan dengan itu, setetes cairan merah beraroma anyir mengalir dari salah satu lubang hidungnya, mengiring pandangan yang kian buram dan sakit di sekujur badan yang tak lagi tertahan.

"Bi?" Arlan tersentak, lalu menyentuh lengan Bian, bermaksud menanyakan keadaan.

Namun, sebelum sempat Arlan melontar satu patah pun kalimat, tangan sang teman jatuh lunglai begitu saja di atas pangkuan. Kepala yang semula menunduk dalam cengkeraman tangan kirinya, kini bersandar lemah pada bahu Arlan. Darah yang mengalir dari hidung, mencetak noda pada kemeja basahnya.

Biananta kehilangan kesadaran.

"Shit!" Arlan mengumpat.

"Ada apa?" Kaynan yang sebelumnya masih berdebat dengan Rayyan, menoleh dan bertanya. Sedangkan sang adik menatap khawatir ke arah Bian yang sudah memejamkan mata, padahal sesaat sebelumnya berteriak cukup keras.

"Bian pingsan. Tolong ke rumah sakit sekarang." Arlan berseru cemas.

"Kenapa bisa pingsan?" Bukannya segera melajukan mobil penyoknya, Kay justru kembali bertanya. Dan hal itu membuat Rayyan geram.

"Minggir, Bang Kay. Biar gue yang nyetir. Lo banyak nanya." Rayyan menarik tubuh Kaynan ke sisi samping. Dan tanpa keluar dari kendaraan, Ray menukar posisi.

"Anjir, lo ngapain, Ray?" protes yang tertua.

"Geser, cepetan!" seru Rayyan tak sabar, dan mau tak mau, Kay pun melakukan apa yang sang adik serukan.

Si sulung geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya yang terkesan tak sopan. Bahkan mendiang Zayyan saja tak pernah berani berbicara keras padanya. Rayyan yang dari luar terlihat lebih lembut dari sang saudara kembar, ternyata lebih barbar.

Ingin rasanya Kay menjitak kepala adiknya dan memberi teguran atas sikapnya. Namun, menyaksikan keadaan Bian yang sudah pucat bagai mayat serta Arlan yang diselimuti kepanikan, membuat Kay mengurungkan niat.

Hingga ketika Rayyan mulai melajukan kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata, Kaynan tak berkomentar apa-apa. Pikirannya dibuat kalut melihat keadaan kacau hari ini yang tak terduga dan sulit untuk dipahami olehnya.


***

ellssthetic

_______

Halo, masih adakah yang menunggu Biananta?

Maaf, aku menghilang lama. Aku gak akan beralasan apa pun. Karena memang beberapa waktu belakangan aku sempat kehilangan semangat nulis. Ada saja yang membuat aku ingin berhenti.

Tapi, Bian datang ke mimpi aku terus ngomong gini, "El, lo jahat banget kalau sampai gak tuntasin cerita tentang gue. Gue udah rela lo siksa setiap bab, awas aja kalau lo tinggalin gue dengan nasib yang gak jelas. Seenggaknya, kalau lo mau matiin gue ya bunuh sekalian. Atau kalau mau kasih akhir bahagia, ya bikin gue seneng dulu. Jangan main kabur!"

Jadi begitulah saudara-saudara 😁
Bian minta dilanjutkan ceritanya.

Masih ada yang mau baca, kan?

Bab ini pendek aja dulu, ya. Sekadar pemanasan setelah lama enggak update.

Terima kasih banyak buat para pecinta Biananta ❤️

Sampai jumpa di bab berikutnya.

Salam,
Ells.

DANCING WITH THE DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang