"Bangsat! Lo apain Bian, hah?!"
Arlan mendekat, menarik baju seragam Rayyan yang tadi ia lihat mendorong Biananta hingga tersungkur bahkan terguling di atas tanah.
Suasana pun rusuh seketika. Dan dua sekuriti yang semula berjaga di gerbang sekolah, berusaha memisahkan. Tak ada yang menyadari keadaan Bian yang kini sedikit kepayahan mengatur napas. Bel masuk sekolah sudah berbunyi beberapa menit sebelumnya, sehingga tak ada guru atau siswa lain yang melintas.
Bian meraba apa pun di dekatnya sebagai penopang untuk menegakkan badan. Serangan kecil yang menghujam dada, mulai sedikit mereda, menyisakan lemas yang menyapa. Menyentuh permukaan kasar batang besar pohon trembesi di sampingnya, sekuat tenaga Biananta pun berdiri perlahan.
Putra semata wayang Raline Damarish itu menatap pada keributan yang terjadi beberapa meter di depannya. Kemudian beralih melempar pandang ke seberang jalan di mana orang mencurigakan itu menghilang, juga pada mobil yang sudah melaju kencang hingga tak lagi terlihat.
Kayaknya mobil itu sengaja mau nabrak gue. Dan orang asing di seberang tadi ... pasti komplotannya.
Niat hati, Bian masih ingin mengejar orang misterius tadi. Namun, ia sadar kondisi, tak mungkin mampu melakukan hal itu seorang diri saat ini. Apalagi, sekarang terjadi keributan yang bermula dari kejadian yang menimpanya.
Bian kembali membawa tatap ke arah keributan. Arlan salah paham. Biananta tahu benar, sahabatnya itu terkadang terlalu berangasan.
"Arlan!" serunya tak terlalu lantang, karena dia masih syok dengan kejadian beberapa saat sebelumnya. Ditambah lagi, tubuhnya sangat lemas sekarang.
"Lan!" Kini, Bian memaksa diri melangkah mendekat, karena sang sahabat tak memberi tanggapan. Bahkan mungkin tak mendengar panggilannya.
Remaja itu menggelengkan kepala sembari berdecak, melihat dua pria dewasa yang kewalahan memisahkan dua anak SMA yang sedang bergulat. Tubuh Rayyan dan Arlan bahkan sempat saling tindih dan berguling ke sana kemari. Menyerang, membalas, lalu menghindar. Menyerang lagi, membalas lagi, lalu menghindar lagi, begitu seterusnya.
"Berengsek! Ada masalah apa lo ama Bian? Hadepin sama gue sekalian. Jangan main serang aja dari belakang," oceh Arlan tak jelas, sembari terus menghujani Rayyan dengan pukulan.
Saudara kembar Zayyan pun tak terima. Balasan pukulan yang ia lakukan memang tak selalu berhasil mengenai Arlan, tetapi anak itu sepertinya tak terima tiba-tiba diserang tanpa alasan. Ray pun dengan gencar mengayunkan kepalan tangan meski selalu berhasil ditangkis oleh sang lawan.
"Lo kalau enggak tahu gimana kejadiannya, jangan asal ngehajar orang, Bajingan!" sahut Rayyan geram.
Arlan terkekeh sinis. Pertama kali melihat murid baru yang diperkenalkan di depan kelas oleh Bu Suryani, Arlan pikir saudara kembar Zayyan itu merupakan pribadi yang ramah, karena sorot matanya terlihat hangat. Namun, yang ia jumpai ternyata kebalikannya. Arlan sendiri sempat heran kenapa anak itu tidak ditempatkan di kelas lama Zayyan, dan justru di kelasnya. Membuat Arlan kesal setiap saat karena lagak Rayyan yang terlihat angkuh di mata Arlan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANCING WITH THE DEATH
RandomWondering what it's like to dance with death? Well, reading this book is the perfect way to find out. *** Biananta bukan orang jahat. Sungguh. Jadi, tolong percayalah. Dia tak sengaja melakukannya. [drama, friendship, brothership, family, sick story...