10. Keceplosan

1.6K 178 25
                                    

Ketika Praja Wiratama memasuki ruang penyidik kantor kepolisian, otak Biananta tak mampu bekerja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika Praja Wiratama memasuki ruang penyidik kantor kepolisian, otak Biananta tak mampu bekerja. Apalagi sewaktu sang mama membawanya berdiri, dan ia diminta memberi salam. Senyum dan sorot mata seorang ayah yang kehilangan anak, menusuk dada Bian hingga rasanya begitu menyakitkan bak ditikam.

Rasa bersalah menyeruak, mencekik hingga sulit sekali hanya untuk sekadar bernapas. Sampai-sampai tubuhnya lemas mendadak dan nyaris tersungkur jika tidak ditangkap dengan sigap oleh calon ayah tirinya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Praja, dengan kedua tangan menahan bahu Bian yang tubuhnya hampir menghantam lantai ruangan. Raline pun spontan merengkuh lengan sang putra.

Buru-buru menyingkirkan tangan sang pria dewasa dari tubuhnya, Bian pun mundur dan memberi anggukan sebagai tanggapan untuk ucapan Praja. Raline menatap Bian khawatir, tetapi dengan cepat sang anak mengulas senyum tipis agar wanita pertama yang dicintainya itu tak cemas berlebih.

Raline mungkin saja tak terkejut lagi dengan Biananta yang tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Syndrom Marfan yang diidap, memang sering menyerang persendian juga. Terkadang, jika sedang berulah, tubuh Bian bahkan sulit digerakkan. Atau justru lemas seakan tanpa tulang, hingga untuk menopang badan pun tak memiliki kekuatan. Meski begitu, wanita tersebut tak pernah terbiasa. Dia selalu cemas berlebihan terhadap apa pun yang dialami Biananta.

"Bi ... enggak apa-apa, Sayang?" tanya Raline dengan suara kecil.

Menyentuh tangan sang mama yang masih merengkuh lengannya, Bian memberi anggukan. "Enggak apa-apa, Ma," jawabnya singkat.

"Ini ...." Praja memandang Biananta penuh tanya, lalu menoleh ke arah petugas penyidik serta Raline bergantian.

Sadar jika ia belum memperkenalkan calon suaminya tersebut dengan sang anak, Raline bermaksud menjembatani perkenalan keduanya. Namun, belum juga wanita tersebut membuka mulut, petugas penyidik kepolisian yang sejak tadi bersama mereka, lebih dulu bersuara.

"Dia Biananta, Pak Praja. Saya sudah memberikan informasi pada Anda, tentang keterkaitan kasus kecelakaan anak Bapak dan perampasan mobil Bian," tutur pria berkemeja hitam tersebut.

Mendengar hal itu, Praja menoleh pada Raline dan Bian bergantian. Sorot matanya tak terbaca, seolah terkejut dengan kenyataan yang diketahuinya. "Sewaktu masuk tadi, aku sempat bertanya-tanya kenapa kamu ada di sini, Raline. Ternyata, pemuda yang disebut oleh pihak kepolisian bahwa malam itu mengalami pembegalan, adalah Bian, anak kamu?"

"Iya, Mas. Sepertinya malam itu, memang malam kelam untuk kita. Tapi, Bian enggak apa-apa. Cuma mobilnya yang dirampas," ujar Raline. Perkara mobil Bian yang hilang, ia juga sudah bercerita pada Praja. Hanya saja, ia tak menduga jika hal itu akan memiliki keterkaitan dengan kecelakaan Zayyan. Ia pun tak menyangka harus memperkenalkan Bian dengan Praja dalam situasi demikian.

"Bu Raline, Saudara Bian. Silakan duduk kembali. Masih ada beberapa hal yang perlu saya tanyakan. Begitu juga dengan Anda, Pak Praja. Mari, silakan duduk." Petugas penyidik menunjuk ke arah kursi.

DANCING WITH THE DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang