Tiga hari mendapat perawatan, sekarang saatnya Bian pulang. Karena Raline harus bekerja, Pak Rusli yang ditugaskan untuk menjemput sang majikan muda.
Biasanya, pria tua ini diberi pegangan mobil sendiri, khusus untuk mengantar jemput Biananta ke mana-mana. Namun, sejak kendaraan itu hilang ketika dibawa oleh sang anak majikan, Pak Rus kini memakai mobil yang biasanya dipakai Raline untuk bekerja. Tadi, setelah mengantar wanita itu ke tempat kerjanya, Pak Rus buru-buru mendatangi rumah sakit untuk menjemput Bian.
"Sudah semuanya?" tanya Pak Rus, memastikan tak ada barang yang tertinggal.
"Iya." Bian menjawab cekak, seraya mengangkat tas berisi pakaian ganti serta beberapa perlengkapan yang mamanya bawa dari rumah. Tak lama kemudian, Pak Rus segera mengambil alih bawaan dari remaja yang tinggi badannya bahkan jauh melampaui dirinya tersebut. Tak mengizinkan anak itu mengangkat barang berat.
"Badannya bener sudah enakan?" Sembari berjalan keluar kamar rawat, Pak Rus kembali bertanya.
"Iya." Bian menjawab dengan satu kata yang sama seperti sebelumnya. Datar, tanpa nada.
Pak Rus menoleh dan menghela napas. Anak majikannya ini jadi lebih pendiam beberapa hari belakangan. Diajak bicara pun hanya akan menyahut sekenanya. Tak pernah lebih dulu memulai perbincangan.
Tiba di parkiran, Pak Rus sudah membukakan pintu penumpang bagian depan, agar Bian duduk di sebelahnya. Pria tua itu khawatir Bian akan bosan jika duduk di belakang sendirian. Namun, alih-alih masuk ke tempat yang sudah dipersilakan, remaja itu justru membuka pintu penumpang belakang, dan masuk ke sana tanpa mengatakan apa-apa.
Pria tua yang sudah mengabdikan hidupnya pada keluarga Damarish bahkan sejak Raline masih kecil tersebut hanya bisa menggelengkan kepala, lalu menutup kembali pintu mobil yang sempat ia buka untuk Bian. Setelahnya, Pak Rus segera saja bersiap di belakang kemudi kendaraan.
Menoleh sebelum menyalakan mesin, Pak Rus mendapati Bian yang duduk menaikkan kaki dan meringkuk ke samping dengan kepala bersandar pada pintu mobil. Matanya terpejam, telinga tersumpal earphone, dan kepala tertutup tudung hoodie.
Bukan tanpa alasan, Bian memilih duduk di belakang. Ada trauma tersisa, sehingga ia tidak bisa menempati jok depan. Bayangan bagaimana dia menabrak Zayyan, selalu melintas di depan mata setiap kali ia duduk di sana.
Pak Rus sempat merasa heran, karena Bian yang biasanya suka duduk di depan bahkan sering memonopoli kemudi dan membiarkan Pak Rus duduk diam di sampingnya, kini tak pernah melakukan hal demikian. Sekarang, jangankan meminta izin untuk menyetir sendiri. Sekadar duduk di kursi depan saja Biananta tak terlihat tertarik.
Tak lagi berusaha mengajak Bian berbicara, pria tua itu segera saja menjalankan mobilnya. Ia tahu, sang anak majikan membutuhkan ketenangan. Raline sempat memberitahu, jika kesehatan mental Bian sedikit terganggu, entah apa yang menyebabkan hal itu. Pak Rus pikir, pasti karena kejadian perampasan kendaraan minggu lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANCING WITH THE DEATH
De TodoWondering what it's like to dance with death? Well, reading this book is the perfect way to find out. *** Biananta bukan orang jahat. Sungguh. Jadi, tolong percayalah. Dia tak sengaja melakukannya. [drama, friendship, brothership, family, sick story...