Merindukan Biananta?
Selama tujuh belas tahun hidupnya di dunia, baru kali ini Biananta begitu marah pada sang mama.
Biananta kecewa. Raline tak mempercayai apa yang dia katakan.
Di depan Dokter Anggara Bimo--yang memasuki ruang rawat setelah Bian sadar dari pingsan, remaja tersebut dengan tegas mengatakan bahwa ayahnya meninggal bukan karena kecelakaan, melainkan dibunuh oleh Praja Wiratama.
Namun, Raline yang sangat terkejut dengan penuturan Biananta, justru menuduhnya mengada-ada.
Setelah meminta Dokter Bimo meninggalkan ruang rawat--karena Raline merasa perlu waktu untuk bicara berdua saja dengan sang anak, wanita itu pun menanggapi perkataan Biananta.
"Kamu enggak harus menjelekkan orang sampai separah itu kalau memang enggak setuju Mama menikah lagi, Bi."
Biananta mengangkat pandang dan beradu tatap dengan sang mama. Keningnya berkerut dalam mendengar penuturan Raline yang kentara menganggapnya mengurai tuduhan palsu atas Praja.
"Bian enggak pernah melarang Mama menikah lagi. Mama boleh menikah dengan siapa saja, tapi bukan dengan pria psikopat seperti Praja. Di depan mata Bian, sewaktu Bian masih kecil dulu, orang itu jelas-jelas menyiksa papa." Meski tubuhnya lemah, Bian berusaha dengan tegas mengungkapkan apa yang ia ingat.
"Astaghfirullah. Istighfar, Nak. Kenapa kamu sampai seperti ini? Kamu bahkan kenal Om Praja belum lama ini, bagaimana bisa kamu bilang kalau dia yang bunuh papa waktu kamu masih kecil?" Raline berujar tak habis pikir. Nada bicara wanita itu bahkan sedikit meninggi.
"Mama yang harusnya istighfar. Mama enggak percaya sama apa yang Bian bilang?" lirih Biananta, mulai kepayahan. Badannya bahkan masih terbaring di atas brankar, pun tak melakukan apa-apa selain berbicara. Namun, dia merasa sangat lelah.
"Itu enggak masuk akal, Bian." Kini, suara Raline terdengar lembut. Akan tetapi, ketidakpercayaan wanita tersebut telanjur membuat hati Biananta remuk.
Remaja itu menggelengkan kepala dengan ekspresi kecewa, lalu kembali berkata, "Lebih enggak masuk akal mana sama cerita karangan Mama?"
"Apa maksud kamu, Bi? Cerita karangan apa?" Raline bertanya lirih. Berusaha sebisa mungkin untuk tak membuat sang anak semakin emosi.
"Sekarang Bian tanya. Apa benar papa meninggal bahkan sebelum Bian dilahirkan? Mama yakin Mama bicara jujur sama Bian? Dan bagaimana tiba-tiba Bian bisa punya ingatan tentang papa kalau memang papa meninggal sebelum Bian dilahirkan? Apa itu masuk akal?" cecar Bian, berkeras.
Raline terdiam. Wanita itu terlihat syok dengan perkataan sang anak. Sepasang netranya melebar, seiring dugaan bahwa Biananta memang telah mendapatkan kembali ingatan masa kecilnya.
"Bian, Mama bisa jelaskan tentang itu, Sayang." Raline beringsut mendekat, merapat pada sisi brankar dan menggenggam tangan sang anak.
"Berarti benar, Mama memang mengarang cerita bohong tentang meninggalnya papa? Kenapa, Ma?" tuntut sang anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANCING WITH THE DEATH
RandomWondering what it's like to dance with death? Well, reading this book is the perfect way to find out. *** Biananta bukan orang jahat. Sungguh. Jadi, tolong percayalah. Dia tak sengaja melakukannya. [drama, friendship, brothership, family, sick story...