"Lo ...."
Rayyan tak melanjutkan kalimat. Remaja itu berusaha mengingat, kiranya di mana ia pernah melihat seseorang yang kini berdiri di samping makam Zayyan.
Dan bunyi jam tangan itu ... Rayyan merasa pernah mendengar. Namun, ia tak yakin itu adalah suara yang sama.
Remaja itu kembali memperhatikan wajah pemilik jam tangan unik, yang kini tak lagi mengeluarkan bunyi--sepertinya sang empunya sudah mematikan alarm yang berisik sesaat sebelumnya.
"Dia bilang, dia temen Zayyan. Lo kenal?" Suara sang kakak mengalihkan atensi Rayyan. Remaja yang kini sudah mengenakan seragam lengkap Midas International High School tersebut menoleh ke arah Kaynan dengan dahi berkerut samar.
"Teman? Seharusnya lo lebih tahu, lo yang tinggal sama Zay selama ini, 'kan?" ucap Rayyan.
"Gue enggak kenal teman-temannya." Kaynan menjawab apa adanya. Dia memang tak terlalu mengurusi pertemanan Zayyan. Lagi pula, Zay juga sama sekali tak pernah membawa temannya main ke rumah.
"Teman?" Rayyan bergumam seraya membawa kembali tatapan pada remaja seusianya di depan sana.
"Maaf, saya harus pergi sekarang. Permisi." Seseorang yang dimaksud, sedikit membungkukkan badan dan hampir saja pergi jika Rayyan tak segera melangkah maju dan menahan lengannya.
"Tunggu!" seru Rayyan.
Seseorang itu menghentikan langkah, lalu menoleh dan menatap Ray juga Kay bergantian. Entah kenapa, tetapi Rayyan bisa melihat dengan jelas pendar gelisah dari sorot matanya. Dan wajah pucat itu ... Rayyan mengingatnya.
"Gue ingat! Gue pernah ngelihat lo di UKS Midas. Gue yakin enggak salah mengenali orang. Itu beneran lo, 'kan?" seru Rayyan yakin.
"Di UKS Midas? Kapan?" Kaynan yang bertanya.
"Waktu Bang Kay nemuin Kak Hilma. Pas kita sama-sama ke Midas buat nganter berkas." Ray menyahut cepat.
Kaynan mengangkat bahu. "Gue enggak tahu ada orang selain Hilma di sana," ucapnya.
"Ada. Gue lihat." Lagi, Rayyan menyahut cepat. "Itu beneran lo, 'kan? Hari Senin, minggu kemarin." Rayyan beralih ke seseorang yang masih ia cengkeram ringan lengannya. Namun, orang itu tak memberi reaksi apa-apa. Masih terlihat menatap tegang ke arah Rayyan.
Melepaskan tangan yang mencengkeram lengan seseorang itu, Rayyan pun tersenyum. "Sorry. Lo pasti kaget ngelihat muka gue," ucapnya.
Belah bibir pucat itu sedikit terbuka, seperti hendak menyampaikan sebuah kalimat. Namun urung, dan berakhir terkatup kembali sesaat kemudian. Tak memberi tanggapan apa pun atas kalimat yang Rayyan lontarkan.
Rayyan paham, mungkin saja orang ini tak tahu jika Zayyan memiliki saudara kembar, dan jadi syok ketika melihatnya. Sama seperti dirinya, Zayyan juga tak suka bercerita pada sembarang orang tentang keluarga. Apalagi, mereka sejak kecil terpisah. Wajar saja jika tak banyak yang tahu bahwa mereka sebenarnya kembar.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANCING WITH THE DEATH
CasualeWondering what it's like to dance with death? Well, reading this book is the perfect way to find out. *** Biananta bukan orang jahat. Sungguh. Jadi, tolong percayalah. Dia tak sengaja melakukannya. [drama, friendship, brothership, family, sick story...