18. Tak Ada Restu dari Si Bungsu

1.6K 202 18
                                    

Sebelum memutuskan untuk turun bergabung makan malam bersama sang mama dan keluarga Wiratama, Bian lebih dulu memantapkan tekad untuk mengalahkan ketakutannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum memutuskan untuk turun bergabung makan malam bersama sang mama dan keluarga Wiratama, Bian lebih dulu memantapkan tekad untuk mengalahkan ketakutannya. Mengesampingkan suara-suara tak kasat mata yang begitu berisik mengganggu pikiran juga melemahkan tubuhnya. Meski jujur saja sekujur badan masih nyeri tak keruan, Bian tak punya pilihan. Dia tak bisa hanya diam di kamar, sementara sang mama kedatangan calon keluarga barunya.

Mama Raline hanya milik Biananta. Praja bahkan belum pernah sekalipun menuturkan niatnya untuk mempersunting Raline, pada Bian yang merupakan anak semata wayang si wanita. Seharusnya pria paruh baya itu lebih dulu meminta izin padanya untuk menikahi Raline, bukan?

Karena itulah, Bian merasa perlu menemui mereka. Praja Wiratama pasti ingin menyampaikan maksud kedatangannya bersama keluarga, selain hanya demi memenuhi undangan Raline untuk makan bersama.

Akhirnya, setelah dipapah oleh Pak Rus ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan dibantu Bu Las menyiapkan pakaian, Biananta pun siap untuk turun makan malam bersama. Sekuat tenaga ia berusaha terlihat baik-baik saja. Ia tak ingin tampak lemah di depan keluarga Wiratama.

Dan di sinilah dia sekarang. Duduk tepat di samping sang mama, dengan sebelah tangan wanita pertama yang dicintainya tersebut berada dalam genggaman. Berhadapan dengan tiga pria Wiratama yang terlihat begitu berkharisma. Mereka telah menyelesaikan makan malam, dan kini beralih ke ruang depan untuk berbincang.

Percayalah, untuk bisa berpindah tempat sampai ke sana, Bian harus mengeluarkan tenaga ekstra dan menahan sakit yang tak terkira.

Selain memikirkan kondisi diri, di sisi lain Bian sadar bahwa sejak beberapa saat yang lalu tatapan Rayyan tak sekalipun lepas darinya. Sorot mata yang sempat menunjukkan keterkejutan, kini kembali datar tak terbaca.

Bian pikir setidaknya Rayyan akan berujar, "Loh, Bi. Jadi lo anaknya Tante Raline? Wah, enggak nyangka banget kita bakal sodaraan nanti."

Atau, "Heyy, Bro. Kalau sejak awal gue tahu Tante Raline itu nyokap lo, udah dari kemarin gue restuin bokap nikah."

Namun nyatanya, wajah sumringah Rayyan hanya bertahan sekian detik, sebelum kemudian Raline memperkenalkan Biananta sebagai putranya. Setelah itu, Rayyan hanya diam. Menikmati hidangan dan sesekali menjawab jika ditanya. Selebihnya, putra bungsu Praja Wiratama tersebut bungkam dan terus saja mencuri kesempatan menatap Bian.

Entah apa penyebabnya, Bian tak paham.

"Jadi, ternyata kamu dan Ray adalah teman sekelas?" Praja bertanya pada Bian. Memulai obrolan, setelah Bu Las meletakkan beberapa potong kue dan minuman hangat ke atas meja.

"Benar, Om," jawab Bian, melirik kecil pada Rayyan yang bahkan tak mengalihkan pandang. Anak itu menatap Bian lekat, tetapi tak sedikit pun tampak ingin menimpali kalimat dari Bian. Bukankah seharusnya Ray juga turut menyahut pertanyaan sang ayah?

DANCING WITH THE DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang