Biananta ketakutan. Setelah mendapat penanganan, ia meminta Dokter Bimo agar segera pergi dari sana. Bian tak tahu, ia menjadi sangat sensitif jika berdekatan dengan seseorang. Dalam perasaan Bian, setiap orang yang menemuinya, memberi tatapan penuh prasangka. Seolah di wajahnya tergambar jelas bahwa ia telah membuat kesalahan dan tak bisa disembunyikan.
Tak hanya sang dokter, Arlan pun ia usir pulang. Bahkan Bu Las dan Pak Rus saja tak ia izinkan berlama-lama di dalam kamarnya. Setelah Bu Las mengantar bubur dan minuman hangat, wanita tua itu pun ia minta untuk segera keluar dari ruangan. Biananta tak nyaman jika ada orang lain di sekitarnya. Dia hanya ingin sendirian.
Ketika Bu Las mengetuk pintu dan mengatakan bahwa Raline menelepon pun, Bian menolak untuk bicara. Ada sedikit kecewa dalam dada kala mengetahui Raline tak pulang semalam, dan lebih memilih mendampingi sang calon suami yang sedang berduka.
Meski begitu, sejujurnya dalam hati Bian bersyukur Raline tak pulang. Karena ia tak pernah bisa menyembunyikan apa pun dari mamanya. Sekalipun tak berbicara, Raline selalu bisa membaca sorot mata Biananta. Dan Bian yang tak terbiasa berbohong, mana mungkin bisa main rahasia.
Sampai sekarang, Bian hanya mampu terdiam. Pikiran dan perasaannya tak pernah tenang sejak kejadian semalam. Memikirkan bagaimana kemungkinan-kemungkinan berikutnya, membuat kepalanya bak dihantam godam. Apakah ia akan tertangkap? Ataukah upaya pelariannya berhasil membuat aparat kehilangan jejak?
Bukan Bian tak bertanggung jawab. Bukan juga ia berniat jahat. Situasi saat inilah yang memaksa. Ancaman Praja Wiratama, selalu terngiang di benak. Untuk siapa pun itu pelaku penabrak sang anak, akan ia hukum telak. Bian sekilas memejamkan mata dan menghela napas pelan. Hanya sang mama, keluarga yang ia punya. Dan untuk saat ini, Raline menganggap Praja adalah masa depannya. Itu semua akan hancur jika mereka tahu Bianlah yang menabrak Zayyan.
"Gue harus gimana?" Bian mengacak rambutnya.
Sebelum memutuskan untuk pulang semalam, Bian membawa mobilnya ke pinggiran kota. Ada satu bangunan tua terbengkalai, yang pastinya tak terjamah. Bekas pabrik terbakar beberapa tahun silam. Ke sanalah Biananta melajukan mobil yang sudah ia matikan lampunya, agar tak mengundang perhatian. Untungnya lokasi tersebut pun jauh dari pemukiman. Bian yakin tak ada yang melihat apa yang ia lakukan.
Setelah menempatkan kendaraan di sisi yang ia rasa aman, Bian mengelap hampir semua permukaan mobil yang telah disentuhnya. Bian menggunakan tisu dan sapu tangan untuk membersihkan sidik jari yang mungkin saja tertinggal. Setelahnya, ia membawa tas yang berisi pakaian kotor serta tisu bekas, juga kain yang sebelumnya ia gunakan untuk lap, dan bergegas pergi dari sana.
"Barang-barang itu udah gue bakar. Tapi kalau Mama nanya di mana mobilnya ... gue harus jawab apa?" gumamnya kebingungan, mengigit bibir dan sesekali membasahinya dengan sapuan lidah.
"Apa aku harus bakar juga mobilnya?" monolog Biananta, terlalu kalut memikirkan solusi untuk menghilangkan jejak. Karena sekalipun ia sudah berusaha menghapus sidik jari di sana, jika mobilnya ditemukan tentu saja pemiliknya terlacak.
KAMU SEDANG MEMBACA
DANCING WITH THE DEATH
De TodoWondering what it's like to dance with death? Well, reading this book is the perfect way to find out. *** Biananta bukan orang jahat. Sungguh. Jadi, tolong percayalah. Dia tak sengaja melakukannya. [drama, friendship, brothership, family, sick story...